“Kritik Demokrasi Rezim Jokowi:
Semakin Kesini Semakin Kesana, Menuju-SENJAKALA DEMOKRASI.”
Oleh Bung Muhammad Rosul Wahidi
Sekretaris DPC GMNI Pasuruan
Saat ini menjelang pemilu 2024, iklim
demokrasi di Indonesia mengalami turbulensi dan disanyalir akan sampai pada titik
jurang kemerosotan. Sebab hal itu bisa kita nilai dengan adanya keputusan dan
tindakan pemerintah yang sering menyeleweng dan keluar dari pakem koridor,
mulai dari masifnya kasus KKN (Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme), pembungkaman aktivis, kriminalisasi pejuang agrarian, pelanggaran
kode etik MK dan ketua KPU, serta adanya anak Presiden maju sebagai Cawapres
menjadi masalah terkini yang berpotensi akan adanya dinasti kekuasaan.
Melansir data yang dirilis oleh The Economicts Intelligence Unit (EIU)
menyebutkan kondisi Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 terdapat kalkulasi
sebanyak 6,71 poin, angka tersebut masih
terbilang minimum, sehingga dipandang cukup stagnan dan telah memasuki kategori
flawed democracy atau demokrasi
cacat. Adanya hasil rilis tersebut menjadi semakin mengafirmasi bahwa kecacatan
demokrasi hari ini memang tidak bisa dipungkiri. Sebab praktik yang bermunculan
kerapkali diprakarsai oleh sekelompok kepentingan kekuasaan, sehingga menjadi
ancaman bagi keberlangsungan Demokrasi, bukan sebaiknya demokrasi di rawat dan
diperjuangkan, malah sebaliknya dijadikan alat kekuasaan.
Belum lagi akhir-akhir ini sikap dan
tindakan Presiden sebagai kepala Negara kerapkali menyeleweng, akibatnya sering
dipertanyakan oleh khalayak publik sebab terdapat keputusan yang berpotensi
akan kecenderungan pada salah satu pasangan calon presiden, sehingga hal ini sangat
berdampak pada stabilitas politik masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Maka tidak bisa dipungkiri beragam kelompok masyarakat sipil seperti
tokoh bangsawan, aktivis atau bahkan kalangan civitas akademika mulai turut
bersuara untuk menyampaikan kondisi demokrasi yang rentan akan kemerosoton itu.
Karena hal ini tidak bisa dibiarkan, jika praktik tersebut terus berlaku secara
continue, maka kualitas demokrasi
akan semakin diperparah dan sampai pada titik senjakala demokrasi.
Dengan demikian sudah barang tentu menjadi
perhatian kelompok aktivis untuk terus bersuara dan bersikap bahwa kehidupan
Demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, segenap konsolidasi dan
perlawanan perlahan terus menyala-nyala sebagai bentuk control akan
praktik-praktik yang merampas, menindas dan sarat akan tindakan abuse of power.
KEPUTUSAN MK YANG CULAS
Sebagai awal permulaan problem yang sedang
seksi sekarang, atensi masayarakat tertuju kepada lembaga Makamah Konstitusi
sebab, pada harai Senin 16 Oktober 2023, MK telah membacakan secara keseluruhan
sebelas putusan pengujian undangg-undang. Beberapa putusn yang dibacakan ialah
berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas etentuan Pasal 169 huruf q.
UU7/2017 tentang Pemilu yang terdapat batasan usia 40 tahun kepada Calon
Presiden dan Wakil Presiden. Salah
satunya adalah Perkara No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pemohon PSI dkk.
Dalam permohonan tersebut, para pemohon
meminta agar syarat usia dikembalikan menjadi 35 Tahun seperti yang diatur
dalam UU Pilpres sebelumnya. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169
huruf q. tersebut diskrimintatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan
original intent pembentukan UUD 1945. Selain itu, terdapat permohonan dari
Partai Garuda pada Perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang
sama. Dalam permohonan ini, Pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni
“pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat menyimpangi batas usia
minimal 40 tahun. Semuanya ditolak oleh MK. Namun,
yang menggemparkan justru Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Perkara yang meminta
agar syarat usia 40 tahun bagi Capres dan Cawapres dapat dikesampingkan, jika
pernah menjabat sebagai kepala daerah. Sehingga putusan tersebut dinilai
serampangan dan penuh dengan inkonsistensi, sebab Mahkamah mengabulkan
permohonan ini.
Keputasan tersebut jelas tidak
merepresentasikan lembaga konstitusi dengan sebagai semestinya. Sebab Mahkamah
Konstitusi sejak awal beridiri di niatkan sebagai negative legislator, artinya ialah untuk menghindari tumpang tindihnya
kekuasaan antar lembaga dan mencegah pemusatan kekuasaan pada segelintir orang,
sehingga pada trayeksinya mengamalkan pencegahan untuk penyalagunaan kekuasaan.
Karenanya peran Makamah Konstitusi sebagai
negative legislator mempunyai
wewenang untuk membatalkan produk hukum yang tidak compatible dengan konstitusi atau menambal sulam hukum-hukm yang
tidak berkeadlian. Jika demikian maka Makamah Konstitusi menjalankan tugasnya
dengan benar, namun yang terjadi malah sebaliknya bahwa dalam putusan Nomor
90/PUU-XXI/2023 terdapat isu penting, yakni antara lain;
Pertama, pada persoalan Legal
Standing pemohon sangat lemah, mengapa demikian sebab pemohon adalah
seorang mahasiswa yang hanya menyadarkan kedudukan hukum yng berorientasi pada
keinginn pemohon menjadi presiden dan terinspirasi pada Walikoto Gibran
Rakabumingraka. Problematisnya lagi pemohon tidak menjelaskan dampak
konstitusional secara eksplisit, basis kerugiannya hanya dilandaskan pada
kekaguman Pemohon kepada Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo, tentu nya
orientasi ini adalah keinginan subjektif tanpa menimbang interest public yang memiliki kedaulatan yang sama.
Lebih mirisnya di tambah lagi soal dampak
atau kerugian konstutusional ini tidak menyentuh pada petitum tentang syarat
alternative terkait pejabat terpilih atau elected
official yang diajukan pemohon. Artinya kerugian tidak terkoneksi dengan
petitum dan alasan permohonan, sehingga legal standingnya menjadi sangat lemah.
Hal ini tentu inkonsistensi dengan putusan MK NO006/PUU-III/2005, yang
menegaskan tentang kerugian konstitusional harus dialami secara langsung, serta
bersifat spesifik dan actual, namun yang terjadi pemohon hanya sebagai
mahasiswa dan penggemar Gibran Rakabumingraka.
Kedua yakni berkaitan dengan Open Legal Policy, sebelum memutus
permohonan No. No.90/PUU-XXI/2023, MK menegaskan ketentuan batas usia capres
dan cawapres merupakan open legal policy.
MK kembali mengutip beberapa putusan terdahulu tentang ketentuan syarat usia
dalam jabatan publik. Dalam beberapa putusan tersebut, MK menyatakan bahwa UUD
1945 memberikan keleluasaan kepada para pembentuk undang-undang untuk
menentukan syarat batas usia minimum dalam undang-undang yang mengaturnya.
Namun,
di hari yang sama, MK langsung mengubah pendiriannya. Hal ini terlihat dalam
Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dimana pemohon meminta syarat alternatif tambahan,
yakni ”pernah /sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk
Pilkada”. Dalam perkara ini, Makamah mempersoalkan kembali konsep open legal policy yang sebelumnya
diterapkan pada Putusan No. 29/PUU-XXI/2023. MK secara sporadis mengesampingkan
open legal policy untuk menilai dalil
yang sama dengan putusan tersebut, dengan alasan menghindari judicial avoidance. Lebih parahnya, MK
menyatakan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas
usia dalam Pasal 169 huruf q. UU Pemilu, dengan mengutip fakta persidangan
dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/ PUU-XXI/2023 dan Perkara No.
51/ PUU-XXI/2023. Padahal, fakta persidangan tersebut sudah diabaikan MK ketika
memutus ketiga perkara di atas.
Masalah MK ini memang
terbilang kompleks, sebab disinyalir akan adanya conflict interest, mengapa demikian karena putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak
mendapatkan suara bulat. Bahkan, putusan ini bisa menunjukkan betapa
diametralnya posisi hakim. Lima orang hakim yang mengabulkan (2 dengan alasan
berbeda – concurring opinion),
menunjukkan kuatnya dugaan konflik kepentingan di dalam perkara. Bahkan,
putusan MK yang menunjukkan posisi hakim diametral ini sudah dibincangkan
publik sepekan terakhir. Dari siapa bocoran putusan ini didapat? Ini menjadi
soal serius yang mesti tidak boleh dilupakan begitu saja. Di
samping itu, konflik kepentingan juga terlihat dari hubungan keluarga Ketua MK,
Anwar Usman, dengan Gibran Rakabuming, yang disebut sebagai inspirasi dalam
mengajukan permohonan. Anwar Usman tentu tidak etis dan bertentangan dengan
hukum, terutama pada Pasal 17 (5) UU 48/2009. Dalam ketentuan pasal tersebut,
wajib mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung
maupun tidak langsung terhadap perkara.
Selanjutnya
juga terdapat empat orang hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda
(Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat) hal ini menjadi
kontroversi sebab terindikasi adanya kemunduran integeritas MK, bukan
seharusnya lembaga tersebut secara internal mempunyai paradigma supremasi hukum
yang sama, objektif dan berintegritas dalam memutuskan perkara, malah
sebaliknya masih terdapat kepentingan dan perbedaan asumsi atas perkara-perkara
yang dipertimbangkan. Sepertinya juga tidak percaya lima orang hakim konstitusi
lainnya mengabulkan ini. Sekali lagi, putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai
salah satu putusan MK yang culas, arogan dan liberal, sehingga ini menjadi
cacatan terburuk sepanjang keberadaan MK. Bahkan, putusan ini adalah putusan
yang penuh dengan konflik kepentingan yang sukar untuk dibantah.
Jokowi Cawe-Cawe PEMILU: Stop Kepentingan Dinasti!!!
Dalam sepak terjang pemerintahan Jokowi,
ini yang paling memilukan. Sebab perkara penyalahgunaan kekuasaan jelas
terlihat secara terbuka tanpa malu-malu menelanjangi kekuasaan. Melansir hasil
rilis koalisis LSM untuk Keadilan Pemilu, mencatat ada tiga bentuk peyimpangan
aparatur negara yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu dan pelanggaran
profesionalitas. Dari ketiga bentuk penyimpangan tersebut misalnya dukungan ASN
terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), politisasi
bansos (8 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus) dan dukungan
penyelenggaraan negara terhadap kontestan (2 kasus).
Adanya hasil kajian tersebut memberikan
interpretasi bahwa kejahatan dan penyalagunaan kekuasaan terjadi secara masif,
terstruktur dan tersistematis. Sebab kekuasaan dijadikan alat untuk meraup
kepentingan sekelompok, sehingga dalam hal ini sudah sangat jelas bahwa rezim
Jokowi tanpa malu-malu berambisi kekuasaan. Jika ditarik pada isu penambahan
jabatan Presiden 3 periode, maka selaras dengan adanya putra mahkotanya yang
saat ini menjadi kandidat konstestasi pemilu 2024, kita bisa menakar bahwa hal
itu hanyalah sebagai upaya pendelegasian kekusaan Jokowi terhadap sang anak,
jika demikian maka ini adalah kepentingan Dinasti.
Ditambah lagi pada hari Rabu 24 Januari
2024, Presiden Jokowi saat usai menghadiri acara penyerahan pesawat di
Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, mengatakan kepada awak media
bahwa Presiden boleh berkampanye dengan
syarat harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Apologi dari statement
tersebut adalah memuat aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Pasal 299, dan itu secara normatif sah saja. Namun yang menjadi problematis
ialah: pertama pada isi etika ruang
berbicara, pada saat Jokowi menyampaikan statement tersebut berbicara dihadapan
media massa dan ditambah lagi ditemani Prabowo yang disisi lain juga menjadi
salah satu kontestan pemilu 2024. Akibatnya pandangan public akan adanya
nepotisme ditubuh pemerintahan Jokowi akan semakin kuat, dan cukup mengkhawtirkan.
Kedua pada persoalan hak politik Presiden, sekalipun dalam aturan tersebut mengejawantah adanya hak politik presiden tapi seharusnya perlu adanya dikotomi antara politik Presiden dan politik praktis, sebab hal ini jika terus dikesampingan maka Jokowi akan terus membenarkan segala tindakan, melacurkan hukum konstitusi demi menampaki lebirin kekuasaan yang terus dikejar.
Ketiga, tentang penggunaan fasilitas Negara, statement Jokowi jika ditarik secara substansi dari pemaknaan penggunaan fasilitas negara adalah statement yang disorientasi, sebab statement yang diucapkan oleh Jokowi menunjukan bahwa Presiden memiliki standar moral yang rendah dan tidak memahami etika demokrasi. Penyelenggara negara seharusnya tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik electoral, terlebih lagi saat ini adalah momen menjelang Pemilu tentu sangat riskan jika ada muatan politik praktis dari setiap tindakan dan keputusan penyelenggara negara. Hal tersebut bahkan diatur secara tegas pada Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pejabat yang kampanye untuk tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya serta menjalani cuti di luar tanggungan negara
Idealnya Presiden sebagai kepala negara dan
pemerintahan seharusnya tindak laku tugasnya sesuai dengan mandat konstitusi,
agar kemudian Pemilu berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Namun yang terjadi sebaliknya bahwa praktik Jokowi semakin kesini semakin
menunjukan tendensinya kepada salah satu paslon, yakni Prabowo Subianto dan
Gibran Rakabumingraka.
Oleh karena itu Presiden harus
menghentikan setiap tindakan keberpihakannya terhadap salah satu kubu
konstestan politik dan menghentikan serangkai upaya cawe-cawe nya dalam
menghadapi pemilu 2024, sebab jika hal ini terus dibiarkan maka kekuasaan akan
cenderung corrupt, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung corrupt secara
absolut. Sekali lagi rezim Jokowi, stop kepentingan Dinasti !!!
Intimidasi Terhadap Kritikan Guru Besar, adalah Bentuk Otoriterian.
Mendekati pemilu 2024, per tanggal 02 Februari
2024 kemarin banyak perguruan tinggi mulai menyatakan sikap dan kritiknya Presiden
Jokowi, mulai dari UGM, UII, UI dan banyak guru besar dari perguruan tinggi
yang lainnya. Tentu hal tersebut bukan kritik subjektif semata, bukan tanpa
sebab kritik tersebut adalah wujud bentuk control sosial insan akademika dalam
menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, yang demokratis dan berkeadilan. Dalam
kacamata guru besar melihat fenomena yang terjadi di pemerintahan Indonesia
harus segera dievaluasi, sebab banyaknya praktik yang berkelakar tentang
kepentingan-kepentingan politik praktis, sehingga akan berdampak dan menciderai
sakralnya demokrasi. Dari sini kepntingan rakyat lagi-lagi dikorbankan.
Nahasnya, pernyaatan sikap guru besar tersebut
berujung intimidasi, yang terjadi di Jawa Tengah terdapat program colling
system dari Polda Jateng. Program Colling
System yang dikelurkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah tersebut meminta
video testimoni positif mengenai kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tentunya
ini adalah bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat. Alih-alih menjaga dan
mengayomi masyarakat, justru kepolisian turut mengintimidasi para guru besar
dengan dalih menjalankan keamanan. Ketika kebebasan berpendapat dibungkam maka
ini adalah bentuk kekhawatiran pemerintah, bukan seharusnya kebebasan berpendapat
itu diterima malah kritik terus di represi sampai dengan tindakan intimidasi
yang mengkhawatirkan bagi civitas akademika, aktivis, masyarakat sipil dan
mereka semua yang bersuara.
Padahal di Negara yang Demokrasi, kritik
adalah bentuk yang wajar. Sehingga kalau pernyataan sikap guru besar dan
suara-suara kritikan dari berbagai kelompok intelektual di intimidasi, maka
sudah barang tentu ini adalah bentuk rezim yang otoriterian. Jika hal ini terus
dibiarkan maka demokrasi akan mundur, demokrasi hanya dijadikan formalitas
semata sebab tidak dijalankan dengan sebagai mestinya. Bukan kebebasan
berpendapt di rawat dan di serap, malah sebaliknya kritikan di tekan, di
bungkam dan terus direpresif.
Kemunduran Demokrasi dibawah rezim Jokowi
sudah mulai penat dirasakan, berbagai praktik dan tindakan yang culas seperti
lembaga-lembaga yang dikooptasi kekuasaan seperti MK telah dikontrol dengan
sdemikian rupa demi syahwat kekuasaan, problem pembungkaman kebebasan
berpendapat guru besar, akivis dan kelompok intelektual lainya, serta masifny
praktik kekuasaan tendensi corrupt semakin
menghendaki akan sampai Demokrasi kita pada senjakala demokrasi. Karenanya Presiden
Jokowi harus segera menghentikan segala tindakan yang bermuatan politik dan
keputusan-keputusan yang menciderai Demokrasi. Sekalipun Presiden mempunyai hak
politik, tapi harus dikotomi dan di tempat kan sesuai dengan koridornya. Dan tentunya
tak melepas peran kita, segenap konsolidasi dan perlawanan masyarakatat sipil mari
terus kita nyalakan sebagai upaya untuk membendung kekuasaan yang bersifat
tiran.
Referensi
https://dataindonesia.id/varia/detail/eiu-indeks-demokrasi-indonesia-sebesar-671-poin-pada-2022
https://heylaw.id/blog/polemik-politik-pasca-terbitnya-putusan-nomor-90-puu-xxi-2023