Senin, 12 Februari 2024

“Kritik Demokrasi Rezim Jokowi: Semakin Kesini Semakin Kesana, Menuju-SENJAKALA DEMOKRASI.”

“Kritik Demokrasi Rezim Jokowi:

Semakin Kesini Semakin Kesana, Menuju-SENJAKALA DEMOKRASI.”

Oleh Bung Muhammad Rosul Wahidi

Sekretaris DPC GMNI Pasuruan

 

Saat ini menjelang pemilu 2024, iklim demokrasi di Indonesia mengalami turbulensi dan disanyalir akan sampai pada titik jurang kemerosotan. Sebab hal itu bisa kita nilai dengan adanya keputusan dan tindakan pemerintah yang sering menyeleweng dan keluar dari pakem koridor, mulai dari masifnya  kasus KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), pembungkaman aktivis, kriminalisasi pejuang agrarian, pelanggaran kode etik MK dan ketua KPU, serta adanya anak Presiden maju sebagai Cawapres menjadi masalah terkini yang berpotensi akan adanya dinasti kekuasaan.

Melansir data yang dirilis oleh The Economicts Intelligence Unit (EIU) menyebutkan kondisi Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 terdapat kalkulasi sebanyak 6,71 poin, angka tersebut  masih terbilang minimum, sehingga dipandang cukup stagnan dan telah memasuki kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Adanya hasil rilis tersebut menjadi semakin mengafirmasi bahwa kecacatan demokrasi hari ini memang tidak bisa dipungkiri. Sebab praktik yang bermunculan kerapkali diprakarsai oleh sekelompok kepentingan kekuasaan, sehingga menjadi ancaman bagi keberlangsungan Demokrasi, bukan sebaiknya demokrasi di rawat dan diperjuangkan, malah sebaliknya dijadikan alat kekuasaan.

Belum lagi akhir-akhir ini sikap dan tindakan Presiden sebagai kepala Negara kerapkali menyeleweng, akibatnya sering dipertanyakan oleh khalayak publik sebab terdapat keputusan yang berpotensi akan kecenderungan pada salah satu pasangan calon presiden, sehingga hal ini sangat berdampak pada stabilitas politik masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka tidak bisa dipungkiri beragam kelompok masyarakat sipil seperti tokoh bangsawan, aktivis atau bahkan kalangan civitas akademika mulai turut bersuara untuk menyampaikan kondisi demokrasi yang rentan akan kemerosoton itu. Karena hal ini tidak bisa dibiarkan, jika praktik tersebut terus berlaku secara continue, maka kualitas demokrasi akan semakin diperparah dan sampai pada titik senjakala demokrasi.

Dengan demikian sudah barang tentu menjadi perhatian kelompok aktivis untuk terus bersuara dan bersikap bahwa kehidupan Demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, segenap konsolidasi dan perlawanan perlahan terus menyala-nyala sebagai bentuk control akan praktik-praktik yang merampas, menindas dan sarat akan tindakan abuse of power.

KEPUTUSAN MK YANG CULAS

Sebagai awal permulaan problem yang sedang seksi sekarang, atensi masayarakat tertuju kepada lembaga Makamah Konstitusi sebab, pada harai Senin 16 Oktober 2023, MK telah membacakan secara keseluruhan sebelas putusan pengujian undangg-undang. Beberapa putusn yang dibacakan ialah berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas etentuan Pasal 169 huruf q. UU7/2017 tentang Pemilu yang terdapat batasan usia 40 tahun kepada Calon Presiden dan Wakil Presiden. Salah satunya adalah Perkara No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pemohon PSI dkk.

Dalam permohonan tersebut, para pemohon meminta agar syarat usia dikembalikan menjadi 35 Tahun seperti yang diatur dalam UU Pilpres sebelumnya. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q. tersebut diskrimintatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan original intent pembentukan UUD 1945. Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda pada Perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, Pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat menyimpangi batas usia minimal 40 tahun. Semuanya ditolak oleh MK. Namun, yang menggemparkan justru Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Perkara yang meminta agar syarat usia 40 tahun bagi Capres dan Cawapres dapat dikesampingkan, jika pernah menjabat sebagai kepala daerah. Sehingga putusan tersebut dinilai serampangan dan penuh dengan inkonsistensi, sebab Mahkamah mengabulkan permohonan ini.

Keputasan tersebut jelas tidak merepresentasikan lembaga konstitusi dengan sebagai semestinya. Sebab Mahkamah Konstitusi sejak awal beridiri di niatkan sebagai negative legislator, artinya ialah untuk menghindari tumpang tindihnya kekuasaan antar lembaga dan mencegah pemusatan kekuasaan pada segelintir orang, sehingga pada trayeksinya mengamalkan pencegahan untuk penyalagunaan kekuasaan.

Karenanya peran Makamah Konstitusi sebagai negative legislator mempunyai wewenang untuk membatalkan produk hukum yang tidak compatible dengan konstitusi atau menambal sulam hukum-hukm yang tidak berkeadlian. Jika demikian maka Makamah Konstitusi menjalankan tugasnya dengan benar, namun yang terjadi malah sebaliknya bahwa dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terdapat isu penting, yakni antara lain;

Pertama, pada persoalan Legal Standing pemohon sangat lemah, mengapa demikian sebab pemohon adalah seorang mahasiswa yang hanya menyadarkan kedudukan hukum yng berorientasi pada keinginn pemohon menjadi presiden dan terinspirasi pada Walikoto Gibran Rakabumingraka. Problematisnya lagi pemohon tidak menjelaskan dampak konstitusional secara eksplisit, basis kerugiannya hanya dilandaskan pada kekaguman Pemohon kepada Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo, tentu nya orientasi ini adalah keinginan subjektif tanpa menimbang interest public yang memiliki kedaulatan yang sama.

Lebih mirisnya di tambah lagi soal dampak atau kerugian konstutusional ini tidak menyentuh pada petitum tentang syarat alternative terkait pejabat terpilih atau elected official yang diajukan pemohon. Artinya kerugian tidak terkoneksi dengan petitum dan alasan permohonan, sehingga legal standingnya menjadi sangat lemah. Hal ini tentu inkonsistensi dengan putusan MK NO006/PUU-III/2005, yang menegaskan tentang kerugian konstitusional harus dialami secara langsung, serta bersifat spesifik dan actual, namun yang terjadi pemohon hanya sebagai mahasiswa dan penggemar Gibran Rakabumingraka.

Kedua yakni berkaitan dengan Open Legal Policy, sebelum memutus permohonan No. No.90/PUU-XXI/2023, MK menegaskan ketentuan batas usia capres dan cawapres merupakan open legal policy. MK kembali mengutip beberapa putusan terdahulu tentang ketentuan syarat usia dalam jabatan publik. Dalam beberapa putusan tersebut, MK menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada para pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat batas usia minimum dalam undang-undang yang mengaturnya.

Namun, di hari yang sama, MK langsung mengubah pendiriannya. Hal ini terlihat dalam Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dimana pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni ”pernah /sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk Pilkada”. Dalam perkara ini, Makamah mempersoalkan kembali konsep open legal policy yang sebelumnya diterapkan pada Putusan No. 29/PUU-XXI/2023. MK secara sporadis mengesampingkan open legal policy untuk menilai dalil yang sama dengan putusan tersebut, dengan alasan menghindari judicial avoidance. Lebih parahnya, MK menyatakan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q. UU Pemilu, dengan mengutip fakta persidangan dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/ PUU-XXI/2023 dan Perkara No. 51/ PUU-XXI/2023. Padahal, fakta persidangan tersebut sudah diabaikan MK ketika memutus ketiga perkara di atas.

Masalah MK ini memang terbilang kompleks, sebab disinyalir akan adanya conflict interest, mengapa demikian karena putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak mendapatkan suara bulat. Bahkan, putusan ini bisa menunjukkan betapa diametralnya posisi hakim. Lima orang hakim yang mengabulkan (2 dengan alasan berbeda – concurring opinion), menunjukkan kuatnya dugaan konflik kepentingan di dalam perkara. Bahkan, putusan MK yang menunjukkan posisi hakim diametral ini sudah dibincangkan publik sepekan terakhir. Dari siapa bocoran putusan ini didapat? Ini menjadi soal serius yang mesti tidak boleh dilupakan begitu saja. Di samping itu, konflik kepentingan juga terlihat dari hubungan keluarga Ketua MK, Anwar Usman, dengan Gibran Rakabuming, yang disebut sebagai inspirasi dalam mengajukan permohonan. Anwar Usman tentu tidak etis dan bertentangan dengan hukum, terutama pada Pasal 17 (5) UU 48/2009. Dalam ketentuan pasal tersebut, wajib mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap perkara.

Selanjutnya juga terdapat empat orang hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat) hal ini menjadi kontroversi sebab terindikasi adanya kemunduran integeritas MK, bukan seharusnya lembaga tersebut secara internal mempunyai paradigma supremasi hukum yang sama, objektif dan berintegritas dalam memutuskan perkara, malah sebaliknya masih terdapat kepentingan dan perbedaan asumsi atas perkara-perkara yang dipertimbangkan. Sepertinya juga tidak percaya lima orang hakim konstitusi lainnya mengabulkan ini. Sekali lagi, putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai salah satu putusan MK yang culas, arogan dan liberal, sehingga ini menjadi cacatan terburuk sepanjang keberadaan MK. Bahkan, putusan ini adalah putusan yang penuh dengan konflik kepentingan yang sukar untuk dibantah.

Jokowi Cawe-Cawe PEMILU: Stop Kepentingan Dinasti!!!

Dalam sepak terjang pemerintahan Jokowi, ini yang paling memilukan. Sebab perkara penyalahgunaan kekuasaan jelas terlihat secara terbuka tanpa malu-malu menelanjangi kekuasaan. Melansir hasil rilis koalisis LSM untuk Keadilan Pemilu, mencatat ada tiga bentuk peyimpangan aparatur negara yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu dan pelanggaran profesionalitas. Dari ketiga bentuk penyimpangan tersebut misalnya dukungan ASN terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), politisasi bansos (8 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus) dan dukungan penyelenggaraan negara terhadap kontestan (2 kasus).

Adanya hasil kajian tersebut memberikan interpretasi bahwa kejahatan dan penyalagunaan kekuasaan terjadi secara masif, terstruktur dan tersistematis. Sebab kekuasaan dijadikan alat untuk meraup kepentingan sekelompok, sehingga dalam hal ini sudah sangat jelas bahwa rezim Jokowi tanpa malu-malu berambisi kekuasaan. Jika ditarik pada isu penambahan jabatan Presiden 3 periode, maka selaras dengan adanya putra mahkotanya yang saat ini menjadi kandidat konstestasi pemilu 2024, kita bisa menakar bahwa hal itu hanyalah sebagai upaya pendelegasian kekusaan Jokowi terhadap sang anak, jika demikian maka ini adalah kepentingan Dinasti.

Ditambah lagi pada hari Rabu 24 Januari 2024, Presiden Jokowi saat usai menghadiri acara penyerahan pesawat di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, mengatakan kepada awak media bahwa Presiden boleh berkampanye dengan syarat harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Apologi dari statement tersebut adalah memuat aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 299, dan itu secara normatif sah saja. Namun yang menjadi problematis ialah: pertama pada isi etika ruang berbicara, pada saat Jokowi menyampaikan statement tersebut berbicara dihadapan media massa dan ditambah lagi ditemani Prabowo yang disisi lain juga menjadi salah satu kontestan pemilu 2024. Akibatnya pandangan public akan adanya nepotisme ditubuh pemerintahan Jokowi akan semakin kuat, dan cukup mengkhawtirkan.

Kedua pada persoalan hak politik Presiden, sekalipun dalam aturan tersebut mengejawantah adanya hak politik presiden tapi seharusnya perlu adanya dikotomi antara politik Presiden dan politik praktis, sebab hal ini jika terus dikesampingan maka Jokowi akan terus membenarkan segala tindakan, melacurkan hukum konstitusi demi menampaki lebirin kekuasaan yang terus dikejar.

Ketiga, tentang penggunaan fasilitas Negara, statement Jokowi jika ditarik secara substansi dari pemaknaan penggunaan fasilitas negara adalah statement yang disorientasi, sebab statement yang diucapkan oleh Jokowi menunjukan bahwa Presiden memiliki standar moral yang rendah dan tidak memahami etika demokrasi. Penyelenggara negara seharusnya tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik electoral, terlebih lagi saat ini adalah momen menjelang Pemilu tentu sangat riskan jika ada muatan politik praktis dari setiap tindakan dan keputusan penyelenggara negara. Hal tersebut bahkan diatur secara tegas pada Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pejabat yang kampanye untuk  tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya serta  menjalani cuti di luar tanggungan negara

Idealnya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan seharusnya tindak laku tugasnya sesuai dengan mandat konstitusi, agar kemudian Pemilu berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun yang terjadi sebaliknya bahwa praktik Jokowi semakin kesini semakin menunjukan tendensinya kepada salah satu paslon, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumingraka.

Oleh karena itu Presiden harus menghentikan setiap tindakan keberpihakannya terhadap salah satu kubu konstestan politik dan menghentikan serangkai upaya cawe-cawe nya dalam menghadapi pemilu 2024, sebab jika hal ini terus dibiarkan maka kekuasaan akan cenderung corrupt, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung corrupt secara absolut. Sekali lagi rezim Jokowi, stop kepentingan Dinasti !!!

Intimidasi Terhadap Kritikan Guru Besar, adalah Bentuk Otoriterian.

Mendekati pemilu 2024, per tanggal 02 Februari 2024 kemarin banyak perguruan tinggi mulai menyatakan sikap dan kritiknya Presiden Jokowi, mulai dari UGM, UII, UI dan banyak guru besar dari perguruan tinggi yang lainnya. Tentu hal tersebut bukan kritik subjektif semata, bukan tanpa sebab kritik tersebut adalah wujud bentuk control sosial insan akademika dalam menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, yang demokratis dan berkeadilan. Dalam kacamata guru besar melihat fenomena yang terjadi di pemerintahan Indonesia harus segera dievaluasi, sebab banyaknya praktik yang berkelakar tentang kepentingan-kepentingan politik praktis, sehingga akan berdampak dan menciderai sakralnya demokrasi. Dari sini kepntingan rakyat lagi-lagi dikorbankan.

Nahasnya, pernyaatan sikap guru besar tersebut berujung intimidasi, yang terjadi di Jawa Tengah terdapat program colling system dari Polda Jateng. Program Colling System yang dikelurkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah tersebut meminta video testimoni positif mengenai kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tentunya ini adalah bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat. Alih-alih menjaga dan mengayomi masyarakat, justru kepolisian turut mengintimidasi para guru besar dengan dalih menjalankan keamanan. Ketika kebebasan berpendapat dibungkam maka ini adalah bentuk kekhawatiran pemerintah, bukan seharusnya kebebasan berpendapat itu diterima malah kritik terus di represi sampai dengan tindakan intimidasi yang mengkhawatirkan bagi civitas akademika, aktivis, masyarakat sipil dan mereka semua yang bersuara.

Padahal di Negara yang Demokrasi, kritik adalah bentuk yang wajar. Sehingga kalau pernyataan sikap guru besar dan suara-suara kritikan dari berbagai kelompok intelektual di intimidasi, maka sudah barang tentu ini adalah bentuk rezim yang otoriterian. Jika hal ini terus dibiarkan maka demokrasi akan mundur, demokrasi hanya dijadikan formalitas semata sebab tidak dijalankan dengan sebagai mestinya. Bukan kebebasan berpendapt di rawat dan di serap, malah sebaliknya kritikan di tekan, di bungkam dan terus direpresif.

Kemunduran Demokrasi dibawah rezim Jokowi sudah mulai penat dirasakan, berbagai praktik dan tindakan yang culas seperti lembaga-lembaga yang dikooptasi kekuasaan seperti MK telah dikontrol dengan sdemikian rupa demi syahwat kekuasaan, problem pembungkaman kebebasan berpendapat guru besar, akivis dan kelompok intelektual lainya, serta masifny praktik kekuasaan tendensi corrupt semakin menghendaki akan sampai Demokrasi kita pada senjakala demokrasi. Karenanya Presiden Jokowi harus segera menghentikan segala tindakan yang bermuatan politik dan keputusan-keputusan yang menciderai Demokrasi. Sekalipun Presiden mempunyai hak politik, tapi harus dikotomi dan di tempat kan sesuai dengan koridornya. Dan tentunya tak melepas peran kita, segenap konsolidasi dan perlawanan masyarakatat sipil mari terus kita nyalakan sebagai upaya untuk membendung kekuasaan yang bersifat tiran.

 

 

 

Referensi

https://dataindonesia.id/varia/detail/eiu-indeks-demokrasi-indonesia-sebesar-671-poin-pada-2022

https://heylaw.id/blog/polemik-politik-pasca-terbitnya-putusan-nomor-90-puu-xxi-2023

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/08/koalisi-lsm-bukan-lagi-kecurangan-yang-terjadi-adalah-kejahatan-pemilu

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/24/jokowi-presiden-boleh-kampanye-dan-memihak-asal-tak-gunakan-fasilitas-negara

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/07/tidak-hanya-rektor-polisi-juga-datangi-tokoh-masyarakat?open_from=Tagar_Page