Senin, 11 Oktober 2010

Profil Singkat GMNI


PROFIL SINGKAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
[ GMNI ]
     Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:
  1. GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS, berpusat di Jogjakarta
  2. GERAKAN MAHASISWA MERDEKA, berpusat di Surabaya
  3. GERAKAN MAHASISWA DEMOKRAT INDONESIA, berpusat di Jakarta.
     Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
     Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positip.
     Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
  1. Setuju untuk melakukan fusi
  2. Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia " (GMNI).
  3. Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.
  4. Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.
     Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
  1. Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
         - SLAMET DJAJAWIDJAJA
         - SLAMET RAHARDJO
         - HERUMAN
  2. Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
         - WAHYU WIDODO
         - SUBAGIO MASRUKIN
         - SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO
  3. Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
         - S.M. HADIPRABOWO
         - DJAWADI HADIPRADOKO
         - SULOMO


Hasil kesepakatan tersebut, akhirnya terwujud. Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan KONGRES I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan personil pimpinan di tingkat pusat.
Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.
Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !".
Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka irencanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.
Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai alam pikiran para aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke " Nilai Dasar Perjuangan " nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.
Setelah gejolak politik reda GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: "Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Azas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.
Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam KONGRES VII GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Azas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.
Titik cerah bagi GMNI yang mulai bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi kekuatan diluar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu bersama 'interest pribadi' segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang malapetaka terhadap organisasi mahasiswa ini.
Kongres VIII GMNI yang sedianya akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena diprotes oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain), karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak luar dalam Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap berlangsung sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.
Hanya dengan pengawalan ketat dari aparat negara Kongres VIII tersebut bisa berlangsung, dan dimenangkan oleh segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi organisasi sangat besar sekali.
Presidium GMNI hasil Kongres VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua cabang. Program Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.
KONGRES IX GMNI di Samarinda tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan GMNI, disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran seta operasioniil program.
Perpecahan ini akhirnya menjalar ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X GMNI di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari kegagalan regenerasi dan kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah lama dalam struktur kepemimpinan GMNI.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan kebiasaan saling "pecat-memecat". Identitas sebagai organisasi perjuangan menjadi luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai "birokrat GMNI". untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan budaya tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut "Komunitas Baru GMNI" yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi juga mulai mengalami erosi idealisme, serta kegersangan  kreativitas dan inovasi.
Secara nasional formal, kesadaran untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada KONGRES XI GMNI di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang. Sementara suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas.
Kondisi ini kemudian melahirkan format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir pejuang yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab hubungan formal-institusional tidak efektif lagi.
"Perlawanan" cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun 1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Dimana kemudian dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan "Sosialis Religius - Progressif Revolusioner" yang membuat banyak pihak terkejut-kejut, tetapi 'kekalahan' terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan nasional yang kembali di-warnai oleh intervesi 'orang-orang lama' GMNI. Isu money-politics sangat kental di forum Kongres XII ini.
Disaat cabang-cabang kembali mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres XII Bali, saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari hari di sekretariat pusat GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil pusing dengan tetap bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang tersentuh. Dimulai dengan dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme di Jogja dan kemudian dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang semakin memantapkan hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi di tingkat pusat.
Ketika terjadi pergerakan massiv mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat 'berbicara banyak' di tingkat kota masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat nasional. Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin 'tidak menyadarkan pimpinan GMNI'. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum pimpinan GMNI ikut mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan. Cabang-cabang bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan nasional saat itu.
Kongres XIII GMNI yang sedianya dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari cabang-cabang karena prosesnya yang tidak konstitusionil dan penuh rekayasa; termasuk perilaku 'saling membubarkan' efek dari perpecahan Presidium. Akhirnya Kongres tersebut terselenggara dengan diboikot 19 cabang antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Denpasar, Pontianak, Manado dll.
Perlawanan cabang-cabang atas tegaknya konstitusi GMNI terus diusahakan, lewat pertemuan-pertemuan antar Pimpinan Cabang di Malang, Surabaya, Jember, Semarang hingga Lokakarya Nasional GMNI di Solo Januari 2000 yang menghasilkan draft pemikiran pembaharuan GMNI untuk kembali ke azas Marhaenisme dan mencanangkan diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) GMNI untuk menjembatani segala perpecahan yang ada.
KLB GMNI, Februari 2001, dipenuhi nuansa / keinginan untuk pembaharuan oleh DPC-DPC. Semangat itu terakumulasi lewat rekomendasi untuk "rekonsiliasi" dengan kelompok "kupang". Pelan tapi pasti, semoga GMNI tetap jaya....!!
Hubungan interpersonal antar aktivis GMNI di cabang-cabang semakin erat dan muncul kerinduan kembali akan "Nilai Dasar Perjuangan" yang selama ini ditinggalkan.
Sanggupkah GMNI meraih kembali momentum yang jaya gemilang..?. Perjuangan kita bersama yang akan menjawabnya. (end)

Ocehanku

PENTING(KAH) PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DAN PEMERSATU BANGSA


Ada lima pertanyaan yang acapkali menggoda penulis:
1.    Mengapa Garuda menoleh kesebelah kanan, karena berkaitan dengan otak kanan simbolnya love, Garuda dibuat menoleh kekanan. Artinya: “Kepala harus dituntun oleh Cinta”.
2.    Mengapa Garuda memakai Perisai: Perisai adalah pelindung, pelindung dari hal-hal negatif yang menjadi kontra dari kelima sila. Mengapa simbol sila kerakyatan adalah Kepala Banteng? Namanya Rakyat biasanya tidak berpikir panjang sama seperti banteng mudah diprovokasi, karena itu Banteng di Garuda memejamkan mata, agar tidak mudah diprovokasi (banteng yang Meditatif).
3.    Mengapa Bintang ditengah? Bintang di tengah dengan sudut-sudut menunjuk ke empat sila, karena setiap sila-sila dalam Pancasila harus selalu dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
4.    Kelima-lima Sila dalam Pancasila saling berhubungan. Jika muncul pertanyaan dalam masyarakat, mengapa rakyat belum sejahtera (sila ke-5) Karena rakyat belum dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila ke-4).
5.    Mengapa Rakyat belum dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Karena belum ada persatuan (sila ke-3)? Mengapa belum ada persatuaan? Karena belum ada kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2). Mengapa belum ada kemanusiaan? Karena belum ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Melihat simbol yang ada di Burung Garuda, kita menjadi mengetahui Jiwa Indonesia sebenarnya adalah Ketuhanan. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah bagaimana cara agar bisa mengawal penafsiran kita tentang Pancasila supaya tidak menyimpang atau tidak salah tafsir, dan jika kita ingin menghindari multi tafsir, maka kita harus melihat keseluruhan secara komprehensif, dari semua simbol yang ada di Burung Garuda Pancasila yang ditafsir, Jangan kita melupakan nilai di bawah Garuda yang merupakan seuntai pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" Itu adalah keseluruhan Roh dari bangsa Indonesia. Apapun penafsiran harus selalu kembali kepada rohnya yaitu, Berbeda tetapi tetap satu.
Sudah 63 Tahun Pancasila menjadi Weltanschauung dan philosophische grondslag NKRI, tapi bertepatan dengan itu, esensi dari eksistensi Pancasila lambat laun semakin pudar dan hambar rasanya, apakah demikian ini bisa dijadikan sebagai rujukan pandangan hidup bangsa, jika keterasingan makna dan esensi didalamnya semakin pudar, apalagi Pancasila selama ini hanya mendiami ranah politik kemapanan dan berjibaku dengan kepentingan birokrasi pemerintah serta oknum-oknum politik yang sudah tidak menjiwai gerakannya dengan entitas Pancasila itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi kehadiran Pancasila hanya dipandang sebagai pelengkap saja dalam pembentukan Negara, hal ini berjalan terus menerus dari tahun ke tahun sepanjang genre dan tingkat pendidikan serta penangkapan indera masyarakat selama ini. Sampai-sampai paradigma agamawan pun semakin hari bertolak dari arah kiblat yang diharapkan, terlebih malah menjadi batu ganjal dalam mewujudkan keharmonisan sesuai dengan falsafah bangsa. Hal ini juga semakin mengaburkan ranah sistemik Pancasila itu sendiri. Sehingga kebanyakan masyarakat jatuh dalam dampak globalisasi dan ekspansi pasar bebas, yang terus mengembangkan budaya populer dan hedonistis. Di mana-mana sebagai dampaknya terjadi pendangkalan budaya, penghayatan agama, dan menurunnya kecerdasan bangsa dalam merespon perkembangan mutakhir dunia inilah dampak sesungguhnya dari ketidakmampuan diri dalam mengolah sebuah perubahan. Bangsa semakin terpuruk dalam ekonomi, politik carut marut. Sedangkan kebudayaan negeri ini tenggelam oleh hiruk pikuk komersialisme dan konsumerisme.
Dan jika kita tengok pada roh suci Pancasila “Bhineka Tunggal Ika”. Maka yang kita dapati merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang membawanya ke arah persatuan. Namun akhirnya penduduk negeri ini memang bhinneka. Tetapi bagaimana menentukan “tunggal” nya dan bagaimana mencapai “ika”, hingga tidak berhenti hanya pada “bhinneka” semata-mata? Itulah soal yang mesti dipecahkan secara arif dan bijak.
Untuk meminimalisasi kondisi seperti itu, maka dibutuhkan keterlibatan secara aktif dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, guna mencari sekaligus memberikan jalan keluar bagi “kebuntuan strategi” yang tengah melanda realitas tersebut. Di samping hal fundamen yang berkenaan dengan relatifitas dan penggalian Pancasila didalamnya, sehingga mampu melahirkan generasi bangsa sekaligus pewaris-pewaris sah negeri ini  yang paham terhadap interior dunianya sendiri. Lagi-lagi ini perkara yang nisbi tentunya, apabila dari fenomena yang sedang berlangsung, justru penjaga, pewaris sah, serta pelestari ideologi yang selama ini bertahan dalam komunal dilemanya hanya mampu berpangku tangan semata. Apabila membiarkan wilayah tanggung jawab moral itu hampa dari I’tikad untuk merujuk pada tatanan perubahan yang produktif dan referentatif. Terlebih jika kita dibenturkan pada suatu kenyataan di abad mutakhir ini, di mana segala ukuran yang menjadi urgen, tak lain hanyalah perihal pemenuhan terhadap material belaka.
Di samping membuka wilayah epistimologi dari ranah sistemik dalam dimensi kesadaran eksklusif yang kita miliki terhadap keanekaragaman ideologi bangsa lain. Di mana hal itu acapkali kita serap dan luput kita filter keberadaanya. Apalagi Ideologi Pancasila cenderung dijadikan sebagai transfusi kegamangan dialektik, sehingga memunculkan transvaluasi yang kerapkali berujung pada keberpihakan sepihak. Sehingga Di mana yang seharusnya terjadi adalah Pancasila menjadi sumber inspirasi sekaligus entitas moral yang sungguh membuat instink dan alunan batin kita semakin tentram, lebih harmonis demi terciptanya negara yang berdasarkan Ketuhanan yang berkebudayaan seperti verdraagzaamheid yang telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul di agamanya masing-masing demi terciptanya azas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bukan sebaliknya.
Kita masih ingat, bahwa keagungan sebuah bangsa dan hakikatnya terletak pada penghargaan kita terhadap perilaku sejarah, yang sekaligus merupakan cerminan kreatifitas intuitif yang selanjutnya menjadi tolak ukur bagi empati kejiwaan bangsa itu sendiri. Demikian halnya dengan eksistensi Pancasila yang kurang mendapatkan tempat sebagaimana mestinya, bahkan justru dalam lingkungan pandidikan yang sejelas-jelasnya merupakan bagian disiplin ilmu lainnya, yang semestinya mendapat porsi lebih dalam proses pembelajarannya. Sebab suatu landasan idiil yang sudah disepakati sebagai konsensus politik negara, haruslah dimengerti oleh masyarakatnya. Sehingga ruang inspirasi dan kedewasaan berpikir masyarakat akan terwujud sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para founding fathers negeri ini.
Lantaran itulah maka harus segera kita pertegas kembali bahwa sesepele apa pun pandangan kita terhadap Pancasila, tentu saja tak bisa diabaikan begitu saja, dengan catatan jika kita tidak ingin kehilangan karakter insani yang nyaris menjadi inti dari muatan ideologi secara global. Sehingga kaum intelektual dan masyarakat luas juga mampu meminimalisasi kerancuan epistimologi ideologi lain yang diagung-agungkan negara-negara adidaya dalam mentransformasi pengetahuan dan melekatkan label “liyan” bagi Negara lain. Dari filosofi temperamen seperti ini bukan satu-satunya bentuk kepedulian dalam tahap suksesi bagi keutuhan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang (dalam tanda petik) Merdeka. Akan tetapi lebih dari itu, bahwa pertanyaan klise yang meski kita pentaskan adalah: Apa kata dunia, jika Pancasila tiba-tiba lenyap dari hadapan manusia dan bangsa Indonesia.

Jiwa Perjuangan Soekarno, Sebagai Sumber Inspirasi



Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (8)

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sosok atau ketokohan Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis revolusioner memang unik sekali. Karena itulah, dalam rangka memperingati HUT-nya yang ke-100, masalah ini penting juga untuk bersama-sama diangkat kembali atau ditelaah lagi, sebagai usaha untuk menempatkan peran sejarahnya pada ketinggian yang semestinya. Juga untuk mencoba mengerti mengapa ia sejak dari muda ia sudah menerjunkan dirinya dalam perjuangan yang penuh keberanian dan keteguhan hati untuk membela kepentingan rakyat melawan kolonialisme Belanda, dan mengapa pula ketika sudah menjadi kepala negara pun masih tetap mengemban pandangan revolusioner, baik secara nasional maupun secara internasional.
Dengan menelaah kembali ketokohan Bung Karno dari segi ini, maka akan nampak bahwa Bung Karno adalah seorang pemimpin nasionalis revolusioner yang luar biasa!!! Dengan mempelajari kembali sejarahnya, dengan membaca kembali tulisan-tulisan atau mendengarkan kembali pidato-pidatonya, dan dengan meneliti berbagai politiknya ketika sudah menjadi kepala negara, kita bisa mengerti bahwa Bung Karno adalah memang seorang pemimpin bangsa yang seluruh hidupnya telah diabdikan kepada kepentingan rakyat dan bangsa sebagai keseluruhan. Dalam hal ini, patutlah kiranya bahwa Bung Karno dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang, yang ingin mengabdikan diri mereka kepada kepentingan rakyat banyak, atau ingin mengabdikan diri mereka kepada persatuan bangsa dan kerukunan antara berbagai golongan dalam masyarakat.
Karena sejarah Bung Karno sudah begitu lama diusahakan dipendam selama Orde Baru/Golkar, dan karena begitu banyak serangan terhadap ajaran-ajarannya atau perlawanan terhadap pandangan-pandangan politiknya di bidang nasional maupun internasional, maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang kita kenang kembali siapakah sebenarnya Bung Karno itu, dan apa pulakah artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia.
(Sekedar untuk kita ingat-ingat bersama : alangkah pentingnya, untuk tujuan ini, bisa dikumpulkan kembali segala pidatonya yang tertulis dan yang terekam dalam piringan hitam maupun kaset - untuk dipakai sebagai kenangan dan bahan penelitian)
PERJUANGAN REVOLUSIONER SEJAK MUDA
Dengan membaca kembali sejarah Bung Karno ketika ia masih muda, jelaslah bahwa sejak dini sekali ia sudah terpanggil jiwanya oleh perjuangan bangsa. Banyak tulisan yang sudah mengungkap betapa besarnya pengaruh perjuangan Haji O.S. Tjokroaminoto (pimpinan Sarekat Islam) ketika ia mondok (in de kost) di rumahnya di Surabaya ketika Bung Karno menginjak usia dewasa. Sejak umur 15 tahun dan belajar di sekolah menengah Belanda (HBS) ia sudah bergaul dengan berbagai tokoh pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda. Tekad Bung Karno untuk berjuang bagi bangsa memang sudah terlihat dengan nyata sekali sejak muda. Tetapi, hal yang jarang disebut atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang adalah pengakuan Bung Karno sendiri dalam pidatonya di depan kongres PKI ke-6 di Jakarta (tahun 1959).
Dalam pidatonya itu, ia mengatakan bahwa dalam tahun 1922 atau 1923 -- artinya, ketika ia berusia 21-22 tahun telah menyelundup sebagai peninjau (penonton, katanya) untuk menghadiri kongres PKI yang diadakan di satu sekolah partikelir di Jalan Pungkur Bandung. Dikatakannya, bahwa dalam ruangan kongres yang sederhana itu, dalam deretan 15 kursi pimpinan PKI (hoofdbestuur, dalam bahasa Belandanya) ada 9 kursi yang kosong karena mereka yang harus duduk di atas kursi itu sedang meringkuk dalam penjara. (Catatan : Tentang pidato Bung Karno di depan Kongres ke-6 PKI ini, yang dikenal juga sebagai pidato "Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan" - Sebagai saudara, sebagai keluarga, kalau mati saya yang kehilangan ada tulisan tersendiri).
Pengakuan Bung Karno sendiri, bahwa sebagai mahasiswa yang belajar di Sekolah Tinggi Belanda untuk menjadi insinyur, telah menyelundup untuk menghadiri Kongres PKI adalah suatu petunjuk penting untuk bisa mengerti tentang komitmennya sebagai pejuang nasionalis revolusioner. Sikapnya sebagai seorang nasionalis, yang sekaligus seorang Muslim dan juga seorang yang berpandangan Marxist diuraikannya secara jelas dalam pidatonya di depan Kongres ke-6 PKI itu (baca : Bintang Merah nomor istimewa Kongres Nasional ke-6 PKI, 1959).
Pidatonya di depan kongres PKI tahun 1959 itu mencerminkan bahwa gagasan dasarnya tentang persatuan revolusioner antara berbagai golongan bangsa bukanlah hanya ketika ia sudah menjadi kepala negara, melainkan sudah sejak ketika ia masih muda. Tulisan-tulisan Bung Karno dalam jilid pertama Dibawah Bendera Revolusi (antara lain : Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang ditulisnya untuk majalah Suluh Indonesia dalam tahun 1926) adalah bukti-bukti nyata tentang dasar-dasar gagasannya yang besar itu. Bagi mereka yang ingin mengerti siapa Bung Karno dan apa cita-citanya, membaca karya-karyanya dan mendengar isi berbagai pidato-pidatonya adalah penting sekali.
BUNG KARNO SEBAGAI PERPADUAN TRI-CITRA
Tentang sejarah perjuangan Bung Karno ketika ia masih muda, adalah menarik sekali untuk kita telaah kembali kata pengantar oleh Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama (1963), yang juga mengandung pesan bagi kita semua dalam situasi yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa ini, sesudah jatuhnya Orde Baru. Kata pengantar tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut :
Kalau pembaca tergolong orang dari generasi baru, artinya tidak pernah merasakan atau melihat sendiri pasang-surutnya pergerakan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda (karena masih sangat muda atau belum lahir), akan mendapat pengertian yang lebih jelas tentang hakiki perjoangan kemerdekaan di masa yang lalu, yaitu yang tidak akan didapati dalam buku-buku sejarah. Antara lain akan mengerti, bahwa sejak tahun 1926 Bung Karno sudah mencita-citakan persatuan antara golongan Nasional, Islam dan Marxis, sehingga persatuan Nasakom sekarang ini pada hakekatnya bukan barang baru dalam rangka perjoangan rakyat Indonesia yang dipelopori Ir. Sukarno.
Apa yang tersurat dan tersirat dalam tulisan-tulisan itu, memperjelas pengertian si-pembaca, bahwa revolusi Agustus 1945 yang berhasil gemilang itu, bukanlah suatu maha-kejadian yang berdiri sendiri atau yang terjadi dengan sendirinya, tetapi cetusan di dalam sejarah yang sangat erat hubungannya dengan persiapan-persiapan yang sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan oleh pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia dengan pengorbanan yang tidak sedikit.
Bagi pembaca yang mengalami atau melihat sendiri pasang-surutnya perjoangan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda dan turut merasakan atau melihat sendiri peranan Bung Karno sebagai pemimpin terbesar, buku ini merupakan penyegaran kembali pengertian dan kesedaran tentang apa sesungguhnya jiwa dan tujuan pergerakan kemerdekaan di masa lampau itu. Dengan membaca lagi tulisan-tulisan Ir. Sukarno, orang dapat menelaah diri sendiri, misalnya dengan pertanyaan : Apakah sikap dan tindakan saya sekarang ini masih sesuai dengan jiwa dan maksud pergerakan saya di masa yang lalu, yakni tujuan-tujuan yang seharusnya tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia saja, tetapi harus berjalan terus menuju terkabulnya cita-cita pembentukan masyarakat adil dan sempurna (istilah Ir Sukarno di masa yang lalu) yang maksudnya tidak lain yalah masyarakat adil dan makmur. Apakah saya sudah berganti haluan dan berganti bulu, bercita-cita menjadi semacam Exponen dari kapitalisme nasional yang disinyalir dan dikutuk oleh tulisan-tulisan Bung Karno itu.
Di samping ada dua segi manfaat tersebut di atas, buku tebal inipun memberi gambaran tentang tulisan pribadi Ir. Sukarno. Dalam tulisan-tulisan itu tergambarlah Bung Karno sebagai "pendekar persatuan", sebagai "strateeg", sebagai "pendidik", sebagai "senopati" pemegang komando pergerakan kemerdekaan bangsa, sebagai seorang "Islam modern" yang gigih menganjurkan supaya pengertian Islam disesuaikan dengan kemajuan zaman yang pesat jalannya, sebagai "realis", sebagai "humanis" dan sebagai suatu pribadi tempat perpaduan tri-citra, yakni Nasionalis, Islamis dan Marxis (kutipan selesai).
MASA MUDA BUNG KARNO YANG PENUH GEJOLAK
Kalau kita teliti kembali sejarah perjuangan Bung Karno, maka nampak sekali dari tulisan-tulisannya selama masa kolonialisme Belanda, bahwa sebagai seorang pemuda ia sudah berusaha dengan segala cara untuk MEMBANGKITKAN kesadaran dan MENGHIMPUN semua kekuatan bangsa dalam melawan kolonialisme Belanda. Ketika ia masih belajar di Sekolah Tinggi Teknik Bandung, ia sudah melakukan kegiatan-kegiatan politik secara aktif. Dan sesudah tammat sebagai insinyur (tahun 1926) ia memilih jalan kehidupan yang mencerminkan tekadnya untuk mencurahkan tenaga dan fikirannya bagi perjuangan bangsa. Dalam usia 26 tahun ia sudah mendirikan PNI (4 Juli 1927) bersama-sama dengan Mr. Sartono, Mr Wilopo dan Mr Sunaryo, dengan tujuan utama : menentang kolonialisme dan imperialisme dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah garis politik tidak kerjasama (non-kooperasi) dengan pemerintahan Belanda.
Salah satu di antara hasil besar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Bung Karno lewat PNI adalah terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) dalam bulan Desember 1927. Dalam PPPKI tergabung berbagai partai dan perkumpulan yang penting waktu itu. Dengan terbentuknya PPPKI, maka dapat dicegah adanya ketidaksatuan dalam perjuangan dalam melawan kolonialisme Belanda. Peran Bung Karno dalam PNI dan PPPKI adalah penting bagi berlangsungnya satu peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia selanjutnya, yaitu diselenggarakannya kongres pemuda di Jakarta dalam tahun 1928. Dalam kongres inilah lahir Sumpah Pemuda : satu nusa, satu bangsa, satu bahasa : Indonesia!
Pemerintahan kolonial Belanda melihat PNI sebagai bahaya yang serius, dan karenanya dalam bulan Desember 1929, para pemimpinnya (Ir. Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata) ditangkap dan diajukan ke depan pengadilan kolonial di Bandung. Dalam peristiwa pengadilan inilah Bung Karno telah makin menunjukkan kecermelangan gagagan-gagasan besarnya, lewat pidato pembelaannya yang bersejarah yang berjudul Indonesia Menggugat itu. Pada tanggal 17 April 193I pengadilan menjatuhkan vonnisnya dan karenanya Bung Karno dimasukkan dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Kemudian, PNI terpaksa dibubarkan, demi keselamatan para anggotanya.
Setelah dibebaskan dari penjara dalam tahun 1932, Bung Karno menggabungkan diri dalam Partindo (Partai Indonesia) yang didirikan oleh teman-temannya untuk meneruskan perjuangan PNI dengan nama baru. Tetapi, karena kegiatan-kegiatan Bung Karno di Partindo dianggap terus berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ia ditangkap lagi dan kemudian dibuang ke Endeh (Flores) dan diteruskan ke Bengkulu. Bung karno mengalami pemenjaraan selama dua tahun di Sukamiskin dan delapan tahun di pembuangan. Ia baru bebas dalam tahun 1942, setelah tentara Jepang menduduki Indonesia.
Kegiatan politik Bung Karno di masa mudanya (antara usia 20-an sampai 32 tahun) merupakan dasar yang membentuk kesosokannya dalam kehidupannya di kemudian hari. Tetapi, berbagai faktor situasi waktu itu juga punya pengaruh besar terhadap perjuangan Bung Karno. Di antara faktor-faktor itu adalah terjadinya pembrontakan PKI dalam tahun 1926 melawan pemerintahan kolonial Belanda (terutama di Banten dan di Sumatra Barat). Patut diingat bahwa karena pembrontakan melawan Belanda ini, sebanyak 1 300 orang telah ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul.
UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO PERLU DIHANCURKAN PKI
Dengan latar-belakang yang demikian itulah barangkali kita bisa mencoba mengerti kepribadian Bung Karno, sebagai pejuang kemerdekaan bangsa, dan juga, kemudian, sebagai kepala negara. Sejak muda ia sudah melahirkan gagasan-gagasan besar bagi bangsa. Gagasannya yang amat cemerlang adalah yang dituangkannya dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang terkenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Bahwa pada usia 44 tahun ia telah dapat merumuskan berbagai fikiran yang begitu luas dan mendalam adalah sesuatu yang menunjukkan bahwa Bung Karno memang patut diakui sebagai pemimpin bangsa atau negarawan atau pemikir yang ulung.
Selama perjuangan revolusi fisik (antara 1945-sampai 1949), Bung Karno juga telah memainkan peran penting dalam memimpin revolusi besar melawan kolonialisme Belanda (dan juga Inggris, pada tahun-tahun permulaan kemerdekaan). Demikian juga setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat dan dibubarkannya (kemudian) negara federal ini, Bung Karno telah berhasil memimpin perjuangan bangsa, sampai terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tetapi, sejak tahun 1950 tidak henti-hentinya perjalanan sejarah bangsa kita mengalami berbagai persoalan yang rumit. Baik yang merupakan persoalan-persoalan dalamnegeri, sebagai bagian dari banyak persoalan negeri yang baru dibangun, maupun yang merupakan akibat dari persoalan yang berkaitan dengan faktor-faktor internasional waktu itu. Untuk sekedar mengambil sebagai contoh betapa banyaknya persoalan dalam negeri yang harus dihadapi oleh negara dan bangsa waktu itu : pembrontakan RMS, pembrontakan Andi Aziz, pembrontakan Kahar Muzakkar, pembrontakan DI-TII, akibat pemilu 1955, akibat diputuskannya perjanjian dengan Belanda, akibat pembrontakan PRRI-Permesta, perjoangan merebut kembali Irian Barat.
Di bidang internasional, faktor-faktor yang berikut juga mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dengan perkembangan dalamnegeri Indonesia sejak tahun 1950 sampai 1965 : lahirnya RRT, persekutuan antara Taiwan (Kuomintang) dengan AS, pecahnya Perang Korea, berkobarnya perang di Indo-Cina, lahirnya ANZUS dan SEATO, penyelenggaraan konferensi Bandung dalam tahun 1955, hubungan Indonesia yang baik antara Uni Soviet dan juga RRT, peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok, kerjasama tertutup antara TNI AD dengan AS, bantuan CIA kepada pembrontakan PRRI-Permesta, didirikannya Malaysia. Banyak faktor-faktor luarnegeri ini (terutama faktor Perang Dingin waktu itu) mempunyai hubungan atau pengaruh langsung terhadap persoalan-persoalan yang timbul di dalamnegeri.
Jelaslah dari jalannya perkembangan situasi waktu itu, bagi Bung Karno menjadi sasaran bagi kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri, dan juga bagi kekuatan-kekuatan asing yang sudah sejak lama melihat pada sosok Sukarno sebagai kekuatan yang harus dihancurkan atau dilumpuhkan. Percobaan pembunuhan 7 kali terhadapnya, dikepungnya Republik Indonesia, pemboikotan ekonomi oleh pasaran Barat dll, adalah usaha-usaha untuk menghancurkannya.
Dengan mempertimbangkan situasi dalamnegeri yang demikian itu, dan juga gangguan (subversi) kekuatan-kekuatan asing waktu itu, Bung Karno telah mendorong atau menyetujui lahirnya idee untuk kembali ke UUD 45, diberlakukannya SOB, sistem demokrasi terpimpin, pembentukan kabinet Gotong Royong, gagasan Nasakom, lahirnya Manipol dan USDEK, dll. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno sejak tahun 1958 sampai 1965, persoalan-persoalan ini dibeberkannya dengan jelas. Inti segala pidato Bung Karno waktu itu yalah penggalangan persatuan revolusioner seluruh bangsa untuk menghadapi kontra-revolusi, baik yang datang dari dalamnegeri maupun dari luarnegeri. Sekarang, berbagai hasil penelitian banyak ahli luarnegeri dengan jelas membongkar adanya usaha-usaha kekuatan asing (antara lain CIA) untuk menghancurkan kekuatan politik Sukarno (tentang soal ini ada catatan tersendiri).
Kalau kita teliti kembali perkembangan situasi dalamnegeri, maka nampaklah bahwa sejak Pemilu tahun 1955, di antara kekuatan-kekuatan politik yang mendukung Bung Karno terdapat PKI. Karena dukungan PKI kepada berbagai politik Bung Karno inilah maka baik PKI maupun Bung Karno menjadi sasaran tembak, baik oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri maupun luarnegeri. Kekuatan dalamnegeri dan luarnegeri yang anti-Sukarno ini tahu betul bahwa untuk menghancurkan Bung Karno perlulah dihancurkan PKI terlebih dulu. Mereka juga tahu bahwa dengan dihancurkannya PKI maka seluruh kekuatan pendukung Bung Karno akan ikut terseret digulung. Mereka juga tahu bahwa dengan menghancurkan Bung Karno, maka seluruh kekuatan progresif di Indonesia akan bisa dilumpuhkan dalam jangka lama. Dan inilah yang telah terjadi selama Orde Baru.
SEJARAH AKAN MEREHABILITASI BUNG KARNO!
Mengingat itu semua, maka patutlah kiranya bahwa dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno kita renungkan kembali bersama-sama banyak hal yang berkaitan dengan sejarah perjuangan Bung Karno, yang antara lain adalah sebagai berikut (sekedar sebagai bahan renungan) :
- Berdasarkan pengalaman sistem politik dan praktek-praktek Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, maka jelaslah bahwa dihancurkannya Bung Karno secara fisik dan secara politik, merupakan kerugian monumental bagi nation and character building. Seperti yang kita saksikan dewasa ini, Orde Baru telah membikin kerusakan-kerusakan besar di bidang moral bagi dua generasi bangsa, sehingga negeri kita menghadapi krisis parah di seluruh bidang.
- Gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang di-embannya sejak usia-mudanya, tentang :
semangat persatuan bangsa, kerukunan antar-berbagai suku dan ras, semangat pengabdian kepada rakyat untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, nasionalisme yang tidak sempit, internasionalisme dalam melawan imperialisme, semangat berdikari dan gotong royong dll adalah gagasan-gagasan besar yang sampai sekarang masih punya arti penting dan berguna dijadikan referensi bersama, dan dipakai sebagai sumber inspirasi bangsa.
Bung Karno adalah pemimpin dan pendidik bangsa. Seluruh hidupnya mencerminkan bahwa ia adalah pejuang revolusioner, baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Ia adalah negarawan yang humanis. Ia adalah seorang nasionalis, seorang Islamis (Muslim) yang juga sekaligus Marxist.
Melalui pengalaman dan waktu, sejarah akan terus membuktikan, bahwa Bung Karno memang seorang putera Indonesia yang patut dihormati. Dan juga dijadikan sumber inspirasi dalam perjuangan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa.

Menggagas Nasionalisme Humanis Bung Karno

KESENGSARAAN dan penderitaan rakyat Indonesia dan masyarakat dunia ketiga, tidak hanya melahirkan pemikiran humanisme universal. Kedua etos itu melahirkan gagasan nasionalisme humanis yang merupakan kritik terhadap nasionalisme barat yang agresif, dan didorong oleh etos kapitalisme yang kemudian melahirkan imperialisme modern. Imperialisme inilah, diyakini Bung Karno sebagai penyebab masyarakat negara-negara dunia ketiga sulit ke luar dari kemelut kemiskinan dan keterbelakangan. Kritik terhadap nasionalisme barat inilah, yang menjadi gagasan utama nasionalisme humanis Bung Karno.

<!-- @page { margin: 2cm } H1 { margin-top: 0.49cm; margin-bottom: 0.49cm; page-break-after: auto } H1.western { font-family: "Times New Roman", serif } H1.cjk { font-family: "Lucida Sans Unicode" } H1.ctl { font-family: "Tahoma" } P { margin-bottom: 0.21cm } H4 { margin-top: 0.49cm; margin-bottom: 0.49cm; page-break-after: auto } H4.western { font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt } H4.cjk { font-family: "Lucida Sans Unicode"; font-size: 12pt } H4.ctl { font-family: "Tahoma"; font-size: 12pt } --> Pengantar
Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk pengembangan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat bangsa itu. Tidak hanya paham kebebasan, keadilan dan kesetaraan, tetapi paham toleransi adalah hal yang perlu mendapat perhatian dalam tata pergaulan internasional. Nasionalisme yang berlandaskan pada toleransi ini tidak hanya dapat menciptakan perdamaian dunia, tetapi dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan nasionalisme humanis itu merupakan garis besar pemikiran Bung Karno yang didiskusikan dalam tulisan ini.

Nilai humanisme Meskipun dalam berbagai tulisan dapat ditelusuri, bahwa dasar pemikiran Bung Karno sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan hakiki bersifat universal, prinsip utama (asas) pemikiran bersumber pada tuntutan hati/budi nurani manusia (the social consicience of man). Tidak mengherankan bila Bung Karno muda dari awal berjuang, senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia. Tidak hanya sekadar merdeka, tetapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia (hak-hak asasi manusia). Pemikiran ini tercermin antara lain dalam pidato Bung Karno.

"....bahwa revolusi kita ini adalah sebagian saja daripada revolusi kemanusiaan. Cita-cita revolusi kita adalah, kataku, konggruen dengan the social consicience of man".

"....bahwa semboyan kita adalah freedom to be free, bebas untuk merdeka. Buat apa ada freedom of speech, freedom of creed, freedom from want, freedom of form fear, jikalau tidak ada kebebasan untuk merdeka".

Setidaknya kutipan di atas dapat dimaknai, perjuangan rakyat Indonesia yang dikobarkan Bung Karno tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari kolonial dan tercukupinya sandang pangan, tetapi juga sebuah perjuangan aspirasi kemanusiaan yang di dalamnya terkandung perjuangan untuk menegakkan harkat dan martabat manusia. Tidak mengherankan bila arah perjuangan Bung Karno adalah pembebasan anak manusia dari segala macam bentuk penindasan dan ketidakadilan.

Di masa kolonial
Tahap awal perjuangan, Bung Karno muda berupaya membekali diri dengan pengetahuan tentang sosialis liberal, seluk beluk sistem Imperialisme, memahami kerangka analisis (epistimologis) Marxian, memperkaya pengalaman empiris, serta berusaha memahami realitas sosial dinamika kehidupan masyarakat, internasional dan nasional, pada awal dan pertengahan abad ke- 20. Berdasarkan pengetahuan itu Bung Karno berusaha mengkonstruksi sistem pengetahuan dan memformulasikan plat form perjuangan untuk membebaskan Indonesia dari penindasan kolonial. Plat form dirumuskan dalam bentuk azas Marhaenisme sebagai landasan organisasi perjuangan (PNI).

Plat form disusun berdasarkan realitas sosial bahwa tanpa melakukan perlawanan secara revolusioner terhadap feodalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme sangat tidak mungkin membebaskan anak bangsa dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan manusia atas manusia, serta penindasan bangsa atas bangsa. Pemikiran ini dijadikan konsep dasar dalam menentukan strategi dan arah perjuangan. Pada tahap ini Bung Karno merumuskan pemikiran itu ke dalam asas Marhaenisme.

Asas Marhaenisme bila ditelusuri dari berbagai tulisan Bung Karno, mengandung sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi. Karena dalam asas Marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan kepentingan kaum tertindas, dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (Marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan tertindas yang antikapitalis dan imperialis, tampaknya, diletakkan sebagai pilar utama untuk memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan, di tataran nasional semangat Marhaenisme dijadikan kekuatan ideologi dalam menggalang dan menyusun kekuatan (machtsvorming), dan mengarahkan kekuatan masa aksi untuk melawan dan melepaskan diri dari penjajahan. Kesadaran politik kolektif kaum Marhaen yang tertindas, dijadikan alat perekat dalam membangun semangat kerjasama dan gotong royong untuk mencapai tujuan perjuangan, yakni merebut kekuasaan dalam upaya melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme.

Di ambang pintu kemerdekaan, pemikiran Bung Karno itu menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan dasar negara, Pancasila. Pancasila dasar negara yang di dalamnya terkandung semangat toleransi "semua buat semua". Pemikiran itu jelas sebagai upaya untuk menyatukan semua golongan dan menyatukan semua kepentingan golongan ke dalam satu kepentingan bangsa, dengan semboyan berbeda-beda tetapi satu (Bhineka Tunggal Ika). Pancasila sebagai perekat kepentingan bangsa mengandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan (humanistik), kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan.

Pascakemerdekaan
Setelah kemerdekaan dicapai dan dapat dipertahankan, cita-cita luhur untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal mulai diperjuangkan. Usaha-usaha perbaikan sosial menuju kehidupan lebih manusiawi terus ditegakkan. Salah satu upaya untuk mencapai gagasan itu, diwujudkan dengan melawan kekuatan kolonialis, kapitalis, imperialis, melalui penggalangan kekuatan bangsa-bangsa tertindas melalui gerakan non-blok yang diawali dengan konsperensi Asia Afrika di Bandung. Gerakan ini melahirkan kesepakatan-kesepakatan penting menyangkut nasib bangsa-bangsa terjajah.

Penggalangan kekuatan nasionalisme negara-negara tertindas ini, menyebabkan kolonialisme penjajah berangsur-angsur runtuh ditandai dengan lenyapnya penjajahan, dan satu per satu bangsa-bangsa Asia Afrika merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan.

Setelah itu konstelasi masyarakat internasional mengalami perubahan. Meskipun kemerdekaan telah terwujud, tetapi kolonialisme dan imperialisme tetap eksis. Melalui metamorfosa institusi, kapitalisme dan imperialisme menjelma menjadi apa yang diyakini Bung Karno sebagai kapitalisme modern dan imperialisme modern. Memanfaatkan lembaga-lembaga internasional (PBB, IMF, dll), perusahaan multi dan trans nasional praktek imperialisme tetap eksis, dan dengan berbagai upaya berusaha mendominasi serta mensubordinasi bangsa-bangsa baru merdeka dunia ketiga. Dominasi tidak secara fisik lagi, tetapi lebih bersifat ideologi di bungkus teori mission sacree (misi suci) melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi.

Tesis Bung Karno tentang ancaman berubahnya imperialis dari tua ke modern yang dipikirkan pada tahun 1930 an, menunjukkan kebenarannya saat ini. Menurut keyakinan Bung Karno, Indonesia tidak akan bisa keluar dari berbagai bencana, meskipun imperialisme overheersen (memerintah) telah hilang, karena imperialisme beheersen (menguasai) akan dan telah siap menggantikannya.

Dalam konteks kekinian, realitas ini mengandung makna bahwa imperialisme overheerseen (memerintah) atau dominasi secara perlahan digantikan oleh imperialisme beheersen (menguasai). Imperialisme beheersen mempunyai kemiripan dengan terminologi Gramsci, hegemoni. Melalui hegemoni, sistem kapitalisme dan imperialisme menyusup secara perlahan melalui media institusi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi.

Dengan bahasa yang berbeda, Bung Karno menggambarkan bahwa imperialisme modern menjadikan Indonesia sebagai daerah penanaman modal (daerah pengusahaan dari kapital lebih) dalam kegiatan perdagangan dan industri, membuat rakyat menjadi bodoh dan kehilangan enersinya.

Ketika konstelasi politik dunia masih diwarnai oleh dua kekuatan ideologis, yaitu ideologi kapitalisme dan komunisme, masyarakat dunia mengalami perang dingin. Kedua kekuatan itu secara nyata berusaha dengan berbagai cara untuk mendominasi dunia. Dalam menyikapi situasi perang dingin itu dan tetap berpegang teguh pada tuntutan hati/budi nurani manusia, yakni pembebasan dari penindasan, eksploitasi kapitalis dan imperialis serta untuk menciptakan perdamaian dunia, Bung Karno berusaha mengembangkan beberapa pemikiran.

Pertama, pada tataran internasional Bung Karno berusaha membangun kekuatan politik dengan menggalang kekuatan negara-negara dunia ketiga ke dalam kekuatan politik Non Blok. Kemudian kekuatan Dunia Ketiga ini oleh Bung Karno disebut dengan New Emerging Forces (Nefo). Dengan penuh keyakinan Bung Karno mengharapkan bahwa kekuatan Dunia Baru yang terdiri dari kekuatan negara-negara Islam, Sosialis dan Nasionalis ini dapat mengurangi dan menghalangi serta membebaskan negara-negara Asia dan Afrika dari belenggu dominasi dua kekuatan dunia.

Untuk mendapat dukungan dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan dihadapkan dengan realitas sosial serta kehidupan politik saat itu, di dalam negeri Bung Karno membentuk kekuatan politik dengan mengembangkan strategi Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Strategi ini banyak menapat sorotan dan kritikan tajam dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri, karena dianggap memberikan peluang pada komunis untuk berkembang dan berpengaruh di Indonesia. Bahkan, strategi ini oleh lawan politik Bung Karno, terutama yang memihak kepentingan kaum kapitalis dan imperialis, dipakai sebagai alat untuk menyerang dan melemahkan posisi Bung Karno.

Menghadapi serangan itu, sikap nonekonomi Bung Karno terhadap imperialisme modern semakin radikal. Sebagai upaya menegakkan kedaulatan di bidang politik, salah satu strategi yang diterapkan Bung Karno adalah menarik diri dari PBB, yang saat itu dipandang sebagai instrumen imperialisme modern dalam rangka memenuhi hasrat menguasai dunia ketiga.

Kedua, untuk tidak tergantung dengan kapitalis dan imperialis, Bung Karno berusaha menegakkan kedaulatan ekonomi dengan prinsip self help dan self reliance. Pada tararan nasionalis diterapkan sistem ekonomi Berdikari bersifat self containing. Kekuatan ekonomi rakyat diupayakan lepas dari bayang-bayang dan pengaruh imperialisme modern. Sistem ekonomi Berdikari bukan tertutup untuk investasi asing, tetapi memperluas kerjasama internasional yang sejajar dan saling menguntungkan, serta tidak menciptakan ketergantungan.

Ketiga, dalam bidang budaya diupayakan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Secara konsisten Bung Karno menekankan bahwa perlu mengikis eksistensi budaya feodalis.

Penutup
Dari paparan di atas dapat kita cermati bahwa paham nasionalisme humanis Bung Karno tidak hanya dijadikan sebagai landasan utama perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga diupayakan sebagai dasar untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal, dengan mengorbankan toleransi dan semangat nasionalisme negara-negara dunia ketiga, agar terbebas dari penindasan dan ekploitasi. Juga dapat dicermati bahwa paham nasionalisme humanis dikonstruksikan berdasarkan pada prinsip humanistik egaletarian, menolak individualisme dan menolak dengan tegas penindasan (eksploitasi) serta menyerukan berjuang secara revolusioner untuk menghancurkan sistem kapitalis dan imperialis yang menindas anak manusia.

Memperjuangkan kebebasan, menegakkan kesamaan, keadilan, kedaulatan dan self suffcient (kemandirian) adalah jalan untuk menciptakan dunia baru yang damai. Tetapi, mengapa paham nasionalisme humanis seakan dilupakan dalam mencari jalan keluar persoalan yang dihadapi bangsa akhir-akhir ini?


Mengenal Organisasi

(Suatu Pemahaman Awal)

I.PENGANTAR
Dalam sejarah kehidupan manusia tidak ada atau dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa manusia hidup menyendiri, Manusia selalu hidup bersama dan bekerjasama atau dapat dikatakan zoon politicoon (Aristoteles).
Pada dasarnya sejak lahir manusia sudah memiliki hasrat gnda yakni hasrat untuk menjadi satu (berkumpul) dengan manusia sekelilingnya. Secara alami manusia dituntut untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, sehingga manusia mengalami perubahan dan pengembangan potensi diri sejalan dengan perubahan dan perkembangan yang terjdi dari lingkungan tersebut.
Menurut Kimkel seorang tokoh psikoligi mengatakan bahwa manusia mempunyai dua nafsu sekaligus, nafsu untuk mengapdi pada dirinya sendiri dan nafsu untuk mengapdi pada orang lain, dengan demikian manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi pengembangan kehidupan.
Secara sederhana, banyak orang mendefinisikan bahwa organisasi dalah “ Sistem dari sekelompok orang yang bekerjasama dalam melakukan sebuah kegiatan untuk mencapai sebuah tujuan” dalam pengertin ini dapat ditarik kesimpulan sesuatu itu dapat dikatakan organisasi apabila didalamnya terdapat faktor-faktor yang dapat menimbulkan terbentuknya sebuah organisasi. Faktor-faktor itu adalah orang-orang, kerjasama, mempunyai tujuan yang dicita-citakan bersama.
Benang merah yang dapat kita ambil dari uraian diatas adalah ketika manusia hidup di lingkungan masyarakat, maka ketika itu pula manusia terkai dengan sebuah organisasi (secara makro), bahkan disaat mati-pu manusia masih terkait dengan organisasi, maka sangatlah tidak mungkin (Impossibel) manusia dapat menghindar dari organisasi.

II.BAGAIMANA ORGANISASI DAPAT TERBENTUK
Menurut Herber G. Hick organisasi dapat terbentuk apabila memiliki 2 (dua) unsur:
1.Unsur Inti (Core Element), yaitu orang-orang yang bertindak sebagai aktor dalam membentuk organisasi
2.Unsut Kerja (Working Element), yaitu hal-hal yang menentukan jalannya organisasi, yang meliputi :
a)Manusia.
Kemampuan untuk bekerja
Kemampuan untuk mempengarui orang
Kemampuan dalam mencapai tujuan organisasi
b)Alam.
Iklim
Cuaca
Udara
Tempat
Waktu

III.CIRI-CIRI ORGANISASI
Suatu kelompok dapat disebut organisasi manakala didalamnya terdapat ciri-ciri tertentu seperti yang telah ditemukan oleh Herry Fayol :
Dari peroses pembentukannya didasarkan pada kebutuhan.
Adanya pembagian kerja
Adanya disiplin kerja
Adanya kesatuan perintah
Adanya kesatuan arah/tujuan
Adanya kepentingan individu dibawa kepentingan umum
Adanya keterlibatan
Adanya sentralisasi
Adanya keadilan
Adanya kesetabilan masa kerja
Adanya inisiatif
Adanya kesatuan jiwa
Adanya wewenang dan tanggung jawab
IV. FUNGSI ORGANISASI
Sarana berkumpul dan komunikasi
Sarana mengembangkan ilmu pengetahuan
Sarana penyaluran aspirasi
Sarana kaderisasi
Proses pendewasaan/pembentukan karakter
Sarana latihan bermasyarkat

V.UNSUR-UNSUR ORGANISASI
Pemimpin
Anggota
Norma/aturan yang ditetapkan
Tujuan

VI.BAGAN PONDASI ORGANISASI
MENGENAL MANAJEMEN
(Suatu Pemahaman Awal )

I.PENGERTIAN MANAJEMEN

Manajemen berasal dari kata To Manager (Inggris) yang artinya adalah mengatur. Orang yang melakukannya disebut menejer. di Indonesia sampai saat ini masih belum ada kesamaan/keseragaman arti. Manajemen sering diartikan dengan kepemimpinan, ketatalaksanaan, kepengurusan, pembinaan, pengelolaan, pengendalian, pembimbingan dan penyelenggaraan.
Lebih kongkrinya dibawah ini disajikan beberapa beberapa pendapat mengenai manajemen:

1)Prof. Dr. Sp. Siagian MPA : mengatakan menejemen adalah kemampuan atu ketrampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.
2)Prof. Dr. Mr. S. Prajudi Atmosudirjo : mengatakan manajemen adalah menyelenggarakan sesuatu dengan menggerakkan orang-orang, uang, mesin-mesin dan alat-alat lainya sesuai dengan kebutuhan.
3)Harold Koens dan Cyxil : mengatakan : menejemen adalah tindakan mengendalikan kecakapan dalam menjuruskan administrasi.

II.UNSUR-UNSUR MANAJEMEN

Unsur-unsur yang mutlak ada dalam manajemen adalah:
1)Tenaga Manusia
2)Uang diperlukan untuk mencapi tujuan
3)Cara / Sistem untuk mencapi tujuan
4)Bahan-bahan yang diperlukan
5)Mesin-mesin yang diperlukan
6)Pasaran/Tempat untuk melempar hasil produksi

III.PEMBAGIAN MANAJEMEN

Manajemen Dapat Dibagi Menjadi 3 (Tiga) Bagian

1)Manajemen menurut tingkatanya ada 3 (tiga)
a.Manajemen Puncak (Top Management).
b.Manajemen Menengah (Midle Management).
c.Manajemen Rendah (Lower Management).

2)Manajemen menurut cara pelaksanaanya ada 2 (Dua).
a.Manajerial Ilmiah (Scientifik Managemant).
b.Manajemen Tradisional (Tradisional Management).

3)Manajemen menurut materi atau bidang yang dikelolah ada 4 (empat).
a.Manajemen Kepegawaiaan (Personol Management).
b.Manajemen Produksi (Production Management).
c.Manajemen yang melakukan penjualan barang atau jasa yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan.
d.Manajemen Keuangan (Financial Management).

IV.FUNGSI MANAJEMEN

Ada bayak pendapat tentng fungsi manajemen ini, namun untuk mempermuda pembahasan dibawa ini hanya akan dikemukakan pendapat dari George R. Terry dalam bukunya “ Principle of Management” uang merumuskan fungsi manajemen sebagai berikut:

1.Planning,
2.Organizing,
3.Actuating,
4.Controlling,

V. PRINSIP MANAJEMEN

Prinsip manajemen adalahsuatu dalil umum yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk bagi seseorang dalam melakukan sebuah tindakan-tindakan tertentu.
1.Pembagian Pekerjaan (Devision Of Work).
2.Kewenangan dan tanggung jawab
3.Disiplin
4.Kesatuan Komando
5.Kesatuan arah atau Tujuan
6.Kepeintingan Umum harus diatas kepentingan Individu
7.Adanya Solidaritas antar pengurus
8.Adanya Sentralisasi
9.Ketertiban
10.Keadilan
11.Setabilitas Jabatan
12.Prakasa
13.Jenjang Hirarki
14.Kesetiakawanan

Surat Soekarno tentang Tan Malaka


Sampai Supersemar

Keluarnya surat perintah dari Presiden Soekarno kepada Soeharto tanggal 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal sebagai Supersemar bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bila ditengok ke belakang, ia berhubungan dengan Testamen Politik Soekarno tahun 1945 dan peristiwa 3 Juli 1946. Ada pula pengamat yang melihat Gerakan 30 September 1965 merupakan satu rangkaian dengan Supersemar.

Testamen Politik 1 Oktober 1945

Surat sebagai sarana suksesi sebetulnya telah dipergunakan Soekarno pada awal kemerdekaan. Presiden RI pertama itu yang merasa kuatir keselamatannya setelah memproklamasikan kemerdekaan,17 Agustus 1945, merasa perlu menunjuk orang lain untuk memimpin kelanjutan perjuangan bangsa. Ia waswas kalau ditangkap oleh Sekutu. Orang yang dia percayai untuk menggantikannya adalah Tan Malaka.
Rencana Soekarno untuk menunjuk seorang pemegang mandat pemimpin bangsa itu tidak disetujui oleh Moh Hatta. Hatta hanya dapat menerima bila mandataris tersebut terdiri dari beberapa orang. Akhirnya disepakati oleh Soekarno dan Hatta orang-orang yang diberi kepercayaan tersebut adalah Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Testamen itu (Harry A. Poeze, 1999) berbunyi sebagai berikut (disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan):


AMANAT KAMI

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agusut 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap.
Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apa pun juga, seperti sudah dibuktkan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok.
Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri.
Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita.
Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab.
Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir,

Wongsonegoro.
Hidup Republik Indonesia!
Hidup Bangsa Indonesia!
Jakarta, 1 Oktober 1945
Sukarno
Moh. Hatta


Baik Testamen Politik 1945, maupun Supersemar merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Seperti halnya Supersemar, Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi:

Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini”.

Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda (Hatta, 1974:13-14).
Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno.Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut.

Peristiwa 3 Juli 1946

Setelah kemerdekaan diproklamasikan terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu penyebab banyak pemuda, laskar dan massa mendukung pandangan Tan Malaka tersebut. 

Awal tahun 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, lasykar, dll termasuk partai politik seperti Masyumi dan PNI (Alfian, 1978). Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut (“Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100 persen”). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota sub-komite, Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat).


Pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti M.Yamin ditangkap. Kemudian seorang perwira bernama Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal Sudarsono menculik Perdana Menteri Sjahrir (27 Juni 1946) karena dianggap telah mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia (Alfian, ibid). Konflik antara kelompok Sjahrir dan kubu Tan Malaka semakin meruncing.

Kemudian pecah peristiwa 3 Juli 1946 yang menurut versi resmi pemerintah RI adalah usaha perebutan kekuasaan oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Menurut Anderson tanggal 2 Juli 1946, overste Soeharto ikut membebaskan tahanan politik di penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti M. Yamin, Iwa Kusumasoemantri dan Dr Sucipto dan membawanya ke markas resimen Wiyoro. Di sini sudah ada Mayjen Sudarsono. Di tempat inilah para pengikut Tan Malaka itu menyusun suatu maklumat politik yang isinya seolah-olah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka (Tan Malaka sendiri itu waktu itu dipenjara dan tampaknya usaha ini tanpa sepengetahuannya). Kemudian tanggal 3 Juli, maklumat itu dibawa ke istana Sultan agar ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Usaha itu gagal, kelompok ini berhasil ditangkap oleh pengawal Presiden. Menurut Ben Anderson, pembuatan maklumat politik itu rupanya mengilhami Soeharto yang mencobanya kembali pada kesempatan lain dengan berbagai perbaikan (Iskandar, 1999) 

Yang menarik adalah pengakuan Soeharto mengenai peristiwa ini sebagai diceritakan dalam Otobiografinya (1988). Di markas resimen Wiyoro, Soeharto didatangi oleh ketua Pemuda Patuk, Sundjojo yang membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI agar menangkap Mayor Jenderal Sudarsono. Soeharto dihadapkan pada pilihan sulit, ada “perintah langsung dari Presiden/Panglima Tertinggi, tidak terlewati hirarki, dan harus menangkap atasan langsung ialah Mayor Jenderal Sudarsono. Akhirnya saya mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut dan minta agar diberikan lewat Panglima Besar Jendral Soedirman.” Sundjojo kembali ke Istana dan melapor kepada Presiden yang mengatai Soeharto “opsir koppig” (opsir keras kepala).


Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalyon-batalyon Resimen III, Soeharto menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono. Ia tidak melaporkan tentang perintah penangkapan tersebut, tetapi hanya memberikan informasi bahwa ada pihak yang akan menculik Sudarsono. Oleh sebab itu Soeharto menyarankan Sudarsono pindah ke resimen III Wiyoro.

Tengah malam Sudarsono datang lagi markas resimen dengan membawa rombongan yang terdiri dari tokoh politik yang dibebaskan dari penjara Wirogunan. Sudarsono mengatakan bahwa ia telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar Sudirman untuk besok pagi menghadap Presiden di Istana menyampaikan surat yang malam itu akan disiapkan. Ketika itu Soeharto membatin “Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi dia”. “Malam itu juga saya segera memberi informasi ke Istana, apa yang terjadi Wiyoro dan apa yang akan terjadi besok pagi di Istana. Saya persilakan sendiri menangkap Mayor Jenderal Sudarsono di Istana besok pagi dan saya jamin di luar Istana tidak akan terjadi apa-apa.”

Soeharto telah memakai tangan orang lain untuk membebaskan dirinya dari kesulitan, ia telah menerapkan strategi ngluruk tanpa bala yang kemudian secara konsisten dipergunakannya.


Kontroversi Supersemar

Setelah Soeharto jatuh, kontroversi tentang Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) semakin melebar. Kontroversi pertama, tentang proses penyusunan dan penyerahan surat tersebut yang terkesan tidak wajar. Surat tersebut dibuat bukanlah atas inisiatif dan kemauan Soekarno sendiri. Buku Subandrio yang urung terbit, Kesaksianku tentang G-30-S, mengungkapkan bahwa penyusunan surat itu dilakukan di bawah tekanan ketiga Jenderal yang datang ke istana Bogor. Kontroversi kedua tentang siapa pengetik Supersemar? Apakah betul Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa yang mengetik surat tersebut. Surat tersebut diketik dalam waktu satu jam dengan didiktekan oleh Bung Karno. Ketika surat itu diketik apa dilakukan oleh ketiga Jenderal tersebut ? Karena Ali Ebram masih hidup, ia perlu diwawancarai. Sebelum ditandatangan diketik kotanya yaitu Bogor. Di dalam salah satu versi fotokopi Supersemar, kota tersebut ditulis Jakarta.

Kontroversi ketiga, yang disampaikan oleh Ben Anderson. Bahwa mungkin saja surat perintah yang asli itu dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat. Jadi jika dipertahankan tentu sangat lucu, surat kepresidengan ditulis dengan kertas berkop MBAD. Jadi surat itu “dihilangkan” bukan karena isi tetapi karena kop suratnya.
Kontroversi keempat, yang paling krusial, di mana sekarang naskah asli Supersemar itu?


1965/66: Kudeta Merangkak ala Soeharto?

Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto sebagaimana kita ketahui tidak berlangsung secara wajar. Pertama diawali dengan (percobaan) kudeta 1 Oktober 1965. Diakhiri dengan keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto. Periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 disebut oleh Y. Pohan (Who were the Real Plotters of the Coup against President Soekarno, 1988) sebagai Kudeta Merangkak. Saskia Elenora Wieringa (Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, 1999) menamakan peristiwa tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun 1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott melihatnya sebagai kudeta tiga tahap, pertama, gerakan tiga puluh September yang merupakan “kudeta gadungan”, kedua, tindakan balasan yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI secara massal, dan ketiga pengikisan sisa-sisa kekuatan Soekarno.

Soeharto sendiri selaku Menteri/Pangad di depan Musyarawah Nasional Pertanian Rakyat, 2 Desember 1965 pernah menyebut tentang operasi tiga tahap ini meskipun merujuk kepada PKI. Ada 3 macam operasi G30S yaitu operasi Ampera I, II, III. Gerakan Ampera I merupakan kudeta di pusat pemerintahan. Ampera II berupa tindakan pembunuhan massal terhadap pemimpin politik lawan. Sedangkan Ampera III adalah pembentukan kabinet baru yang komposisinya sesuai dengan keinginan PKI. (Soegiarso Soerojo, G30S-PKI dan Peran Bung Karno: Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai, 1988, hal 272). Hal ini dikemukakan Mayjen Soeharto karena kabinet yang dibentuk Presiden Soekarno setelah Peristiwa 1 Oktober 1965 masih menampung unsur komunis. Tetpi kalau kita melihat ketiga fase itu dalam konteks peralihan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde baru maka tahap-tahapnya tidak jauh berbeda. Hanya saja kata “PKI” yang dalam tahap terakhir itu perlu diganti dengan “Soeharto”. 


Mengenai keterlibatan Soeharto dalam Peristiwa 1 Oktober 1965 yang disebut sebagai Kup pertama itu saya setuju dengan apa yang ditulis oleh Saskia (1999: 497-498) “Besar kemungkinan Jenderal Soeharto, ..., sudah tahu sebelumnya tentang akan terjadinya kup,... Tapi barangkali agak terlalu jauh ditarik kesimpulan bahwa ia telah mendalangi kup pertama, yang mengharuskannya mengatur pembunuhan terhadap rekan-rekannya....
Kemungkinan sekali, seperti disimpulkan Tornquist (1984:230), Soeharto menunggu sambil melihat apa yang akan terjadi, dan kemudian pada saatnya dipecundanginya baik Sukarno maupun Nasution”

Pada paragraf berikutnya Saskia menulis “Ketika akhirnya Soeharto bertindak, ia melakukannya dengan cepat dan tegas. ...sejak saat itu, ... ia telah memulai dengan siasatnya untuk menggulingkan Sukarno sambil memarakkan diri sendiri ke atas tampuk kekuasaan. Ia pasti menyadari bahwa yang diperlukannya bukan sekedar pameran kekuatan militer... Adanya para perempuan di Lubang Buaya itulah yang digunakan sebagai amunisi oleh Soeharto, demi transisi mental yang diangankannya itu. Dengan itu bukan hanya perempuan yang berhimpun di sana akan dimusnahkannya dengan segala daya, tetapi juga kaum Komunis dapat dijatuhkannya sama sekali. Sementara itu Sukarno yang menunjukkan dukungannya pada PKI, dapat dipertontonkan oleh sebagai pemimpin yang tak becus. Kegagalan Sukarno melindungi PKI dapat dilihat sebagai isyarat pudarnya wahyu kekuasaan dan ketiadadayaan, hingga sudah pasti Sukarno akan bisa dilenyapkannya dari percaturan (politik)”.

Penutup
Mengenai Supersemar meskipun banyak kisah yang kontroversial di situ tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa surat tersebut bukanlah dibuat Presiden Soekarno dengan sukarela. Meskipun tidak ada todongan senjata, dapat dipahami bahwa penulisannya dilakukan dengan tekanan. Dalam kup pertama mungkin Soeharto tidak menjadi konseptor peristiwa itu, tetapi ia sudah mengetahuinya sebelumnya. Dan Soeharto adalah orang yang paling diuntungkan dari “percobaan kudeta” yang gagal itu. 


Pada kup kedua, mungkin saja ia bisa berdalih tidak memaksa Soekarno, tetapi kenyataan ketiga Jenderal pembantunya telah membuat Soekarno dalam keadaan terpaksa untuk membuat Surat Perintah tersebut. Apalagi pada pagi tanggal 11 Maret 1966 berkeliaran pasukan yang tidak memakai tanda pengenal di sekitar Istana, sehingga Soekarno memutuskan meninggalkan Istana dan pergi ke Bogor. 


Kalau diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto adalah seorang ahli strategi yang andal. Tetapi ia bukan seorang grandmaster yang ampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode 6 bulan setelah Peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai “Kudeta Merangkak”. Tetapi ini adalah sebuah drama tanpa skenario yang baku, dan diikuti oleh pemain yang memang sudah diketahui ataupun aktor yang tidak dikenal. 


Meskipun Testamen Politik Soekarno 1 Oktober 1945 dan Supersemar merupakan surat tugas kenegaraan yang diberikan oleh pimpinan nasional, namun paling sedikit terdapat perbedaan (atau persamaan?) menyangkut dua hal.


Dalam pembuatan Testamen Politik 1945 tidak ada paksaan. Bahkan penyusunannya dilakukan Soekarno secara demokratis dengan berkonsultasi dengan Bung Hatta. Sulit dibantah, bahwa Supersemar diberikan oleh Soekarno tanpa tekanan dari luar. 


Testamen Politik 1945 telah dibakar oleh sendiri oleh Bung Karno agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Apakah Supersemar sengaja dihilangkan karena - mengutip pandangan Ben Anderson - ditulis dengan kertas memakai kop Markas Besar Angkatan Darat? Hal ini masih kabur.

Bila Supersemar diragukan keabsahannya, maka apakah keputusan yang diambil dengan surat itu sah yaitu pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966 ? Malam itu sebetulnya Sudharmono dan Murdiono telah berdiskusi tentang landasan hukum untuk membubarkan PKI. Jadi rencana pembubaran PKI itu sebetulnya telah disiapkan sebelumnya, bukan dipikirkan setelah menerima Supersemar. 

Supersemar kemudian dikukuhkan dengan TAP MPRS tahun 1966. Lembaga itu bersifat sementara. Sampai di mana keabsahan produk daripada lembaga yang bersifat sementara, yang anggotanya tidak legitimate, karena tidak dipilih melalui pemilu? Seluruh produk MPRS tahun 1966 itu mesti dicabut.


Asvi Warman Adamadalah peneliti pada Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, ketua Bidang Pendidikan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Pusat, redaktur jurnal Sejarah (MSI) dan jurnal Masyarakat Indonesia (LIPI). Lahir di Bukittinggi tahun 1954, ia mendapatkan gelar Sarjana Muda Sastra Perancis, UGM, Yogyakarta, 1977, kemudian Sarjana Linguistik Perancis, UI, Jakarta, 1980 dan pernah jadi wartawan dan redaktur pelaksana majalah Sportif, 1981-1983. Sejak tahun 1983 menjadi peneliti LIPI. Tahun 1984-1986, lektor Bahasa Indonesia pada Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Universite de la Sorbonne-Nouvelle (Paris III). Lulus DEA pada EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, tahun 1986. Tahun 1990, meraih gelar doktor dari sekolah yang sama, dengan disertasi tentang “Hubungan antara Hindia Belanda dengan Indocina, 1870-1914” di bawah bimbingan Prof Denys Lombard (almarhum). Kesibukan sekarang melakukan penelitian dan seminar-seminar mengenai “Pelurusan Sejarah Indonesia”.