Rabu, 25 Juni 2025

Bung Karno, Tanah Air dan Luka Ekologis

 


Di tengah hutan yang tumbang, sungai yang menghitam, dan petani yang diusir dari tanahnya sendiri, kita bertanya: apakah kita masih mengingat apa yang pernah diserukan Bung Karno tentang bumi, tanah, dan rakyat? Apakah yang disebut sebagai “Ibu Pertiwi” itu kini hanya jadi slogan tanpa makna, ketika ratusan proyek tambang dan sawit membelah dada Indonesia?


Bung Karno pernah berseru bahwa “tanah adalah milik rakyat, dan bumi tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang.” Ia menyebut tanah air ini bukan hanya tempat berpijak, melainkan tubuh yang menyatu dengan nasib bangsa. Ketika ia menggali nilai-nilai Pancasila, ia meletakkannya bukan di atas awan, tetapi di atas bumi, di tengah keringat petani, nelayan, dan kaum marhaen yang hidupnya bergantung langsung pada alam. Oleh karena itu, bagi Bung Karno, merampas tanah rakyat adalah kejahatan terhadap Republik. Menghancurkan gunung untuk tambang adalah penistaan terhadap cita-cita kemerdekaan. Menjual sumber daya alam kepada korporasi asing adalah bentuk penjajahan baru.


Di tengah situasi krisis iklim dan kerusakan ekologis hari ini, warisan Bung Karno bukan sekadar teks dalam buku sejarah. Ia adalah kompas yang mestinya kita pakai untuk menakar arah pembangunan. Bung Karno tidak pernah bicara tentang “green economy” atau “net zero emission”, tetapi ia bicara tentang kedaulatan rakyat atas tanah dan airnya. Ia bicara tentang ekonomi berdikari, bukan ekonomi rente. Ia bicara tentang pembangunan yang membebaskan, bukan pembangunan yang menggusur. Dalam marhaenisme, yang ditindas bukan hanya manusia, tetapi juga tanah dan sumber kehidupan. Oleh karena itu, perjuangan ekologis adalah lanjutan dari Revolusi yang belum selesai.


Marhaen yang ditemui Bung Karno di Bandung bukan sekadar simbol rakyat miskin. Ia adalah lambang keterhubungan manusia dengan alam. Marhaen punya cangkul dan sepetak tanah — ia tidak bekerja untuk tuan tanah atau modal asing. Ia hidup dari bumi, dan menjaga bumi. Ketika Bung Karno mengatakan bahwa “Marhaen harus jadi tuan di negeri sendiri”, itu bukan hanya seruan ekonomi, tetapi juga seruan ekologi. Karena yang membuat marhaen terjajah adalah sistem yang merampas tanahnya, mencemari airnya, dan merusak hutan yang jadi penyangga hidupnya. Dan hari ini, sistem itu masih berdiri — bahkan semakin bengis, dengan baju baru bernama investasi, industri hijau, dan proyek strategis nasional.


Kita tidak akan mengerti Bung Karno jika kita memisahkan ia dari tanah, dari pohon, dari sungai, dari kampung. Ketika ia mendirikan jembatan, waduk, dan gedung-gedung megah, ia selalu menyebut bahwa itu dibangun untuk kemaslahatan rakyat banyak. Ia tidak menukar sawah dengan pabrik tanpa pertimbangan. Ia tidak membiarkan hutan ditebang demi ekspor. Ia percaya bahwa alam adalah bagian dari revolusi. Maka ketika hari ini, atas nama pembangunan, rakyat diusir dari tanahnya, ketika para perempuan pesisir kehilangan lautnya, ketika petani adat dipenjara karena mempertahankan hutan — kita tahu bahwa yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap semangat Bung Karno.


Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno berulang kali mengutuk bentuk baru penjajahan. Ia menyebutkan imperialisme yang menyamar sebagai kerja sama ekonomi. Ia melihat bahwa setelah penjajah angkat kaki, datanglah modal asing yang sama rakusnya. Kekayaan bumi Indonesia bukan dimanfaatkan untuk rakyat, tetapi dikuras untuk kepentingan luar negeri. Dan itu tidak jauh berbeda dengan hari ini. Di Jawa Timur, tambang batu andesit menggusur sawah rakyat. Di Kalimantan, Ibu Kota Negara baru berdiri di atas hutan yang dihuni beratus spesies endemik. Di Sulawesi, pegunungan dibelah demi nikel untuk mobil listrik. Bung Karno pasti akan bertanya: “Apakah ini pembangunan yang kalian maksudkan?”


Beliau mengingatkan bahwa kita tidak bisa membangun bangsa di atas penderitaan rakyat. Ia tidak hanya bicara tentang kemiskinan, tetapi juga tentang ketimpangan relasi kuasa antara manusia dan alam. Alam tidak bisa dikeruk tanpa batas. Tanah tidak bisa dibagi-bagi kepada investor sambil mengusir petani yang hidup di atasnya turun-temurun. Sungai tidak boleh jadi saluran limbah hanya karena pabrik butuh efisiensi produksi. Jika semua itu terjadi, maka revolusi kita mundur — dan Republik ini kehilangan jiwanya.


Bung Karno bukan seorang ahli lingkungan dalam pengertian teknokratik. Tapi ia adalah pemimpin dengan intuisi ekologis yang kuat. Ia tahu bahwa sebuah bangsa tidak akan merdeka jika alamnya dirampok. Ia tahu bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, dari sawah, dari kampung, dari kehidupan sehari-hari rakyat. Ia tahu bahwa petani, nelayan, buruh — bukan hanya kelas sosial, tetapi juga penjaga alam yang seharusnya dihormati, bukan ditindas. Karena itu, jika hari ini kita bicara tentang krisis iklim, tentang keadilan ekologis, tentang kedaulatan pangan, maka sesungguhnya kita sedang melanjutkan amanat Bung Karno.


Kita perlu menyadari bahwa ekologi bukan sekadar urusan teknis atau konservasi. Ia adalah pertarungan kelas. Ia adalah medan konflik antara rakyat dan modal. Ia adalah perang antara sistem marhaenisme yang memperjuangkan kehidupan, melawan neoliberalisme yang memperdagangkan bumi. Bung Karno sudah menunjukkan jalannya. Ia mewariskan kepada kita sebuah ideologi yang membela tanah dan kehidupan. Tapi pertanyaannya, apakah kita masih berani berjalan di jalan itu?


Jangan bilang mencintai Bung Karno jika kita membiarkan petani dirampas lahannya. Jangan mengangkat gambar Bung Karno jika kita diam saat hutan adat dibakar. Jangan teriak “revolusi!” jika kita mendukung proyek yang menggusur nelayan dan merusak ekosistem. Karena Bung Karno bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah janji yang harus terus kita penuhi. Ia adalah keberpihakan yang harus terus kita bela. Ia adalah suara yang harus terus kita hidupkan, terutama saat bumi sedang luka, dan rakyat ditindas atas nama kemajuan.


Salah satu pidatonya adalah, “Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Tapi hari ini, kita butuh lebih dari itu. Kita butuh ribuan pemuda, petani, buruh, perempuan, anak-anak, dan semua rakyat yang sadar bahwa mempertahankan bumi adalah bagian dari revolusi. Kita butuh gerakan yang menolak eksploitasi dan menghidupkan kembali semangat berdikari. Kita butuh membaca ulang Bung Karno bukan sebagai pahlawan yang mati di buku sejarah, tetapi sebagai ideologi hidup yang bisa menjadi fondasi perlawanan ekologis masa kini.


Karena tanah ini bukan milik investor. Sungai ini bukan milik korporasi. Laut ini bukan milik negara. Semua adalah milik rakyat. Semua adalah milik kehidupan. Dan Bung Karno telah lama menyuarakan itu, jauh sebelum krisis iklim diperdebatkan dalam konferensi elite dunia. Maka jika kita ingin benar-benar merdeka, kita harus memulai dengan menjaga tanah air ini — secara nyata, secara berani, dan secara revolusioner.


Merdeka!

GmnI, Jaya!

Marhaen, Menang!


Minggu, 15 Juni 2025

Pembangunan Yang Digerogoti Oligarki dan Hancurnya Ekologis

 


Pembangunan di Kabupaten Pasuruan hari ini tidak lagi berdiri atas pijakan keadilan ekologis, melainkan berada dalam cengkeraman rakus para pemilik modal yang menjelma dalam bentuk oligarki tambang, industri, dan agribisnis besar. Di tengah jargon pembangunan yang digembar-gemborkan sebagai kemajuan, realitas justru menyuguhkan potret buram: sungai-sungai tercemar, tanah-tanah mengering, udara menghitam, dan warga kehilangan ruang hidupnya sedikit demi sedikit.  Mari kita lihat bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan yang memihak rakyat, melainkan pembangunan yang melayani akumulasi kekayaan segelintir elite.

Pasuruan, sebuah kabupaten yang secara geografis diberkahi dengan kekayaan alam melimpah—dari dataran tinggi di Tosari hingga kawasan pesisir di Lekok dan Nguling—nyatanya menjadi ladang eksploitasi brutal oleh kepentingan ekonomi raksasa.


Fenomena ekspansi industri ekstraktif, seperti tambang pasir liar di Lereng Bromo, menjadi salah satu bukti jelas bagaimana pengelolaan sumber daya alam tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Tanpa adanya kontrol yang tegas dari pemerintah daerah, praktik-praktik ilegal tersebut berlangsung terang-terangan, menyisakan kerusakan ekosistem yang tak mudah dipulihkan. Daerah konservasi menjadi kawasan pertambangan; lahan pertanian warga berubah jadi danau lubang tambang; dan para petani, nelayan, serta masyarakat adat terpaksa angkat kaki dari ruang hidupnya.

Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) Welang dan DAS Rejoso menjadi refleksi kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Aktivitas industri besar di kawasan pegunungan dan hilir telah mengakibatkan sedimentasi, pencemaran logam berat, dan penurunan debit air. Ironisnya, kerusakan itu dilanggengkan melalui perizinan resmi yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada korporasi-korporasi besar.


Kami menilai bahwa model pembangunan seperti ini bukan hanya menyimpang dari prinsip keadilan sosial, tetapi juga merupakan bentuk penghianatan terhadap konstitusi.

Fenomena limpahan izin industri di kawasan rawan bencana menjadi fakta lain yang menguatkan bahwa pembangunan di Pasuruan telah dikendalikan oleh logika pasar, bukan logika keselamatan rakyat. Kawasan Bromo, yang seharusnya menjadi zona konservasi ekologi dan budaya, telah dikapling sedikit demi sedikit oleh investor pariwisata dan tambang. Masyarakat Tengger yang secara turun-temurun menjaga kearifan ekologis, hari ini berada dalam tekanan terus-menerus: tekanan ekonomi, tekanan hukum, bahkan kekerasan struktural yang dilegalkan lewat proyek-proyek “strategis”. Keberadaan oligarki bukan hanya sebagai aktor ekonomi yang berpengaruh, tetapi juga sebagai struktur politik yang menguasai pengambilan kebijakan. Dalam banyak kasus, relasi antara pemerintah daerah, aparat, dan pengusaha menjadi jalinan kuasa yang menindas kepentingan rakyat. Perizinan yang dipermudah, pengawasan yang lemah, serta impunitas terhadap pelanggaran lingkungan adalah bentuk nyata dari kooptasi politik oleh elite ekonomi. 


Bahkan dalam beberapa kasus di Indonesia kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan masih terjadi—mengirim pesan bahwa bersuara demi lingkungan adalah tindakan yang membahayakan kepentingan penguasa.

Di sektor pesisir, wilayah seperti Lekok dan Grati juga menunjukkan betapa absennya pemerintah dalam menjaga kedaulatan ekologis. Industri pembangkit listrik, reklamasi, dan ekspansi pelabuhan menggusur wilayah tangkap nelayan tradisional. Air laut tercemar, ikan menjauh, dan warga pesisir kehilangan pendapatan. Tak ada kajian lingkungan hidup yang transparan, tak ada partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Yang tersisa hanyalah konflik agraria, konflik ekologis, dan trauma kolektif masyarakat yang terusir dari tanah leluhurnya.

Degradasi ekologis di Pasuruan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari pola besar neoliberalisme yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan hak publik. Dalam logika ini, rakyat hanyalah penghalang bagi investasi; sungai hanyalah jalur limbah; hutan hanyalah stok karbon; dan laut hanyalah ladang uang. Negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan berubah menjadi makelar proyek-proyek korporasi. Oligarki tumbuh subur karena absennya etika dalam tata kelola lingkungan.


Dan ironisnya, hal ini dilakukan atas nama pembangunan.

Jika pembangunan terus dibangun di atas kerusakan lingkungan dan penyingkiran masyarakat lokal, maka kehancuran ekologis adalah keniscayaan. Bencana ekologis bukan lagi potensi, melainkan sedang berlangsung: banjir yang lebih sering datang, longsor di kawasan pegunungan, krisis air bersih, hingga kualitas udara yang memburuk. Ini bukan harga yang pantas dibayar demi pertumbuhan ekonomi yang semu. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang diderita oleh mereka yang paling tidak berdaya.

GMNI Pasuruan menyerukan perlunya perubahan radikal dalam paradigma pembangunan. Bukan pembangunan yang melayani kepentingan elite, tetapi pembangunan yang berbasis pada kedaulatan rakyat dan kelestarian lingkungan. Pasuruan tidak kekurangan sumber daya, yang kurang adalah keberanian untuk memutus dominasi kapitalisasi. Rakyat bukan objek pembangunan, melainkan subjek utama. Pemerintah harus memutus jejaring kepentingan dengan pengusaha perusak lingkungan dan mulai membangun mekanisme tata kelola yang transparan, adil, dan partisipatif.

Di atas semua itu, kami seraya menegaskan bahwa perjuangan lingkungan adalah perjuangan kelas. Ketika tanah, air, dan udara dijadikan alat akumulasi, maka melawan perusakan lingkungan berarti melawan sistem yang menindas rakyat. GMNI berdiri di barisan rakyat yang menolak perampasan ruang hidup, dan terus menyuarakan bahwa bumi bukan warisan nenek moyang untuk dieksploitasi, tetapi titipan generasi masa depan yang harus dijaga dengan darah, tenaga dan akal sehat.