Minggu, 15 Juni 2025

Pembangunan Yang Digerogoti Oligarki dan Hancurnya Ekologis

 


Pembangunan di Kabupaten Pasuruan hari ini tidak lagi berdiri atas pijakan keadilan ekologis, melainkan berada dalam cengkeraman rakus para pemilik modal yang menjelma dalam bentuk oligarki tambang, industri, dan agribisnis besar. Di tengah jargon pembangunan yang digembar-gemborkan sebagai kemajuan, realitas justru menyuguhkan potret buram: sungai-sungai tercemar, tanah-tanah mengering, udara menghitam, dan warga kehilangan ruang hidupnya sedikit demi sedikit.  Mari kita lihat bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan yang memihak rakyat, melainkan pembangunan yang melayani akumulasi kekayaan segelintir elite.

Pasuruan, sebuah kabupaten yang secara geografis diberkahi dengan kekayaan alam melimpah—dari dataran tinggi di Tosari hingga kawasan pesisir di Lekok dan Nguling—nyatanya menjadi ladang eksploitasi brutal oleh kepentingan ekonomi raksasa.


Fenomena ekspansi industri ekstraktif, seperti tambang pasir liar di Lereng Bromo, menjadi salah satu bukti jelas bagaimana pengelolaan sumber daya alam tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Tanpa adanya kontrol yang tegas dari pemerintah daerah, praktik-praktik ilegal tersebut berlangsung terang-terangan, menyisakan kerusakan ekosistem yang tak mudah dipulihkan. Daerah konservasi menjadi kawasan pertambangan; lahan pertanian warga berubah jadi danau lubang tambang; dan para petani, nelayan, serta masyarakat adat terpaksa angkat kaki dari ruang hidupnya.

Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) Welang dan DAS Rejoso menjadi refleksi kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Aktivitas industri besar di kawasan pegunungan dan hilir telah mengakibatkan sedimentasi, pencemaran logam berat, dan penurunan debit air. Ironisnya, kerusakan itu dilanggengkan melalui perizinan resmi yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada korporasi-korporasi besar.


Kami menilai bahwa model pembangunan seperti ini bukan hanya menyimpang dari prinsip keadilan sosial, tetapi juga merupakan bentuk penghianatan terhadap konstitusi.

Fenomena limpahan izin industri di kawasan rawan bencana menjadi fakta lain yang menguatkan bahwa pembangunan di Pasuruan telah dikendalikan oleh logika pasar, bukan logika keselamatan rakyat. Kawasan Bromo, yang seharusnya menjadi zona konservasi ekologi dan budaya, telah dikapling sedikit demi sedikit oleh investor pariwisata dan tambang. Masyarakat Tengger yang secara turun-temurun menjaga kearifan ekologis, hari ini berada dalam tekanan terus-menerus: tekanan ekonomi, tekanan hukum, bahkan kekerasan struktural yang dilegalkan lewat proyek-proyek “strategis”. Keberadaan oligarki bukan hanya sebagai aktor ekonomi yang berpengaruh, tetapi juga sebagai struktur politik yang menguasai pengambilan kebijakan. Dalam banyak kasus, relasi antara pemerintah daerah, aparat, dan pengusaha menjadi jalinan kuasa yang menindas kepentingan rakyat. Perizinan yang dipermudah, pengawasan yang lemah, serta impunitas terhadap pelanggaran lingkungan adalah bentuk nyata dari kooptasi politik oleh elite ekonomi. 


Bahkan dalam beberapa kasus di Indonesia kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan masih terjadi—mengirim pesan bahwa bersuara demi lingkungan adalah tindakan yang membahayakan kepentingan penguasa.

Di sektor pesisir, wilayah seperti Lekok dan Grati juga menunjukkan betapa absennya pemerintah dalam menjaga kedaulatan ekologis. Industri pembangkit listrik, reklamasi, dan ekspansi pelabuhan menggusur wilayah tangkap nelayan tradisional. Air laut tercemar, ikan menjauh, dan warga pesisir kehilangan pendapatan. Tak ada kajian lingkungan hidup yang transparan, tak ada partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Yang tersisa hanyalah konflik agraria, konflik ekologis, dan trauma kolektif masyarakat yang terusir dari tanah leluhurnya.

Degradasi ekologis di Pasuruan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari pola besar neoliberalisme yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas, bukan hak publik. Dalam logika ini, rakyat hanyalah penghalang bagi investasi; sungai hanyalah jalur limbah; hutan hanyalah stok karbon; dan laut hanyalah ladang uang. Negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan berubah menjadi makelar proyek-proyek korporasi. Oligarki tumbuh subur karena absennya etika dalam tata kelola lingkungan.


Dan ironisnya, hal ini dilakukan atas nama pembangunan.

Jika pembangunan terus dibangun di atas kerusakan lingkungan dan penyingkiran masyarakat lokal, maka kehancuran ekologis adalah keniscayaan. Bencana ekologis bukan lagi potensi, melainkan sedang berlangsung: banjir yang lebih sering datang, longsor di kawasan pegunungan, krisis air bersih, hingga kualitas udara yang memburuk. Ini bukan harga yang pantas dibayar demi pertumbuhan ekonomi yang semu. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang diderita oleh mereka yang paling tidak berdaya.

GMNI Pasuruan menyerukan perlunya perubahan radikal dalam paradigma pembangunan. Bukan pembangunan yang melayani kepentingan elite, tetapi pembangunan yang berbasis pada kedaulatan rakyat dan kelestarian lingkungan. Pasuruan tidak kekurangan sumber daya, yang kurang adalah keberanian untuk memutus dominasi kapitalisasi. Rakyat bukan objek pembangunan, melainkan subjek utama. Pemerintah harus memutus jejaring kepentingan dengan pengusaha perusak lingkungan dan mulai membangun mekanisme tata kelola yang transparan, adil, dan partisipatif.

Di atas semua itu, kami seraya menegaskan bahwa perjuangan lingkungan adalah perjuangan kelas. Ketika tanah, air, dan udara dijadikan alat akumulasi, maka melawan perusakan lingkungan berarti melawan sistem yang menindas rakyat. GMNI berdiri di barisan rakyat yang menolak perampasan ruang hidup, dan terus menyuarakan bahwa bumi bukan warisan nenek moyang untuk dieksploitasi, tetapi titipan generasi masa depan yang harus dijaga dengan darah, tenaga dan akal sehat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar...