Di tengah hutan yang tumbang, sungai yang menghitam, dan petani yang diusir dari tanahnya sendiri, kita bertanya: apakah kita masih mengingat apa yang pernah diserukan Bung Karno tentang bumi, tanah, dan rakyat? Apakah yang disebut sebagai “Ibu Pertiwi” itu kini hanya jadi slogan tanpa makna, ketika ratusan proyek tambang dan sawit membelah dada Indonesia?
Bung Karno pernah berseru bahwa “tanah adalah milik rakyat, dan bumi tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang.” Ia menyebut tanah air ini bukan hanya tempat berpijak, melainkan tubuh yang menyatu dengan nasib bangsa. Ketika ia menggali nilai-nilai Pancasila, ia meletakkannya bukan di atas awan, tetapi di atas bumi, di tengah keringat petani, nelayan, dan kaum marhaen yang hidupnya bergantung langsung pada alam. Oleh karena itu, bagi Bung Karno, merampas tanah rakyat adalah kejahatan terhadap Republik. Menghancurkan gunung untuk tambang adalah penistaan terhadap cita-cita kemerdekaan. Menjual sumber daya alam kepada korporasi asing adalah bentuk penjajahan baru.
Di tengah situasi krisis iklim dan kerusakan ekologis hari ini, warisan Bung Karno bukan sekadar teks dalam buku sejarah. Ia adalah kompas yang mestinya kita pakai untuk menakar arah pembangunan. Bung Karno tidak pernah bicara tentang “green economy” atau “net zero emission”, tetapi ia bicara tentang kedaulatan rakyat atas tanah dan airnya. Ia bicara tentang ekonomi berdikari, bukan ekonomi rente. Ia bicara tentang pembangunan yang membebaskan, bukan pembangunan yang menggusur. Dalam marhaenisme, yang ditindas bukan hanya manusia, tetapi juga tanah dan sumber kehidupan. Oleh karena itu, perjuangan ekologis adalah lanjutan dari Revolusi yang belum selesai.
Marhaen yang ditemui Bung Karno di Bandung bukan sekadar simbol rakyat miskin. Ia adalah lambang keterhubungan manusia dengan alam. Marhaen punya cangkul dan sepetak tanah — ia tidak bekerja untuk tuan tanah atau modal asing. Ia hidup dari bumi, dan menjaga bumi. Ketika Bung Karno mengatakan bahwa “Marhaen harus jadi tuan di negeri sendiri”, itu bukan hanya seruan ekonomi, tetapi juga seruan ekologi. Karena yang membuat marhaen terjajah adalah sistem yang merampas tanahnya, mencemari airnya, dan merusak hutan yang jadi penyangga hidupnya. Dan hari ini, sistem itu masih berdiri — bahkan semakin bengis, dengan baju baru bernama investasi, industri hijau, dan proyek strategis nasional.
Kita tidak akan mengerti Bung Karno jika kita memisahkan ia dari tanah, dari pohon, dari sungai, dari kampung. Ketika ia mendirikan jembatan, waduk, dan gedung-gedung megah, ia selalu menyebut bahwa itu dibangun untuk kemaslahatan rakyat banyak. Ia tidak menukar sawah dengan pabrik tanpa pertimbangan. Ia tidak membiarkan hutan ditebang demi ekspor. Ia percaya bahwa alam adalah bagian dari revolusi. Maka ketika hari ini, atas nama pembangunan, rakyat diusir dari tanahnya, ketika para perempuan pesisir kehilangan lautnya, ketika petani adat dipenjara karena mempertahankan hutan — kita tahu bahwa yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap semangat Bung Karno.
Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno berulang kali mengutuk bentuk baru penjajahan. Ia menyebutkan imperialisme yang menyamar sebagai kerja sama ekonomi. Ia melihat bahwa setelah penjajah angkat kaki, datanglah modal asing yang sama rakusnya. Kekayaan bumi Indonesia bukan dimanfaatkan untuk rakyat, tetapi dikuras untuk kepentingan luar negeri. Dan itu tidak jauh berbeda dengan hari ini. Di Jawa Timur, tambang batu andesit menggusur sawah rakyat. Di Kalimantan, Ibu Kota Negara baru berdiri di atas hutan yang dihuni beratus spesies endemik. Di Sulawesi, pegunungan dibelah demi nikel untuk mobil listrik. Bung Karno pasti akan bertanya: “Apakah ini pembangunan yang kalian maksudkan?”
Beliau mengingatkan bahwa kita tidak bisa membangun bangsa di atas penderitaan rakyat. Ia tidak hanya bicara tentang kemiskinan, tetapi juga tentang ketimpangan relasi kuasa antara manusia dan alam. Alam tidak bisa dikeruk tanpa batas. Tanah tidak bisa dibagi-bagi kepada investor sambil mengusir petani yang hidup di atasnya turun-temurun. Sungai tidak boleh jadi saluran limbah hanya karena pabrik butuh efisiensi produksi. Jika semua itu terjadi, maka revolusi kita mundur — dan Republik ini kehilangan jiwanya.
Bung Karno bukan seorang ahli lingkungan dalam pengertian teknokratik. Tapi ia adalah pemimpin dengan intuisi ekologis yang kuat. Ia tahu bahwa sebuah bangsa tidak akan merdeka jika alamnya dirampok. Ia tahu bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, dari sawah, dari kampung, dari kehidupan sehari-hari rakyat. Ia tahu bahwa petani, nelayan, buruh — bukan hanya kelas sosial, tetapi juga penjaga alam yang seharusnya dihormati, bukan ditindas. Karena itu, jika hari ini kita bicara tentang krisis iklim, tentang keadilan ekologis, tentang kedaulatan pangan, maka sesungguhnya kita sedang melanjutkan amanat Bung Karno.
Kita perlu menyadari bahwa ekologi bukan sekadar urusan teknis atau konservasi. Ia adalah pertarungan kelas. Ia adalah medan konflik antara rakyat dan modal. Ia adalah perang antara sistem marhaenisme yang memperjuangkan kehidupan, melawan neoliberalisme yang memperdagangkan bumi. Bung Karno sudah menunjukkan jalannya. Ia mewariskan kepada kita sebuah ideologi yang membela tanah dan kehidupan. Tapi pertanyaannya, apakah kita masih berani berjalan di jalan itu?
Jangan bilang mencintai Bung Karno jika kita membiarkan petani dirampas lahannya. Jangan mengangkat gambar Bung Karno jika kita diam saat hutan adat dibakar. Jangan teriak “revolusi!” jika kita mendukung proyek yang menggusur nelayan dan merusak ekosistem. Karena Bung Karno bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah janji yang harus terus kita penuhi. Ia adalah keberpihakan yang harus terus kita bela. Ia adalah suara yang harus terus kita hidupkan, terutama saat bumi sedang luka, dan rakyat ditindas atas nama kemajuan.
Salah satu pidatonya adalah, “Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Tapi hari ini, kita butuh lebih dari itu. Kita butuh ribuan pemuda, petani, buruh, perempuan, anak-anak, dan semua rakyat yang sadar bahwa mempertahankan bumi adalah bagian dari revolusi. Kita butuh gerakan yang menolak eksploitasi dan menghidupkan kembali semangat berdikari. Kita butuh membaca ulang Bung Karno bukan sebagai pahlawan yang mati di buku sejarah, tetapi sebagai ideologi hidup yang bisa menjadi fondasi perlawanan ekologis masa kini.
Karena tanah ini bukan milik investor. Sungai ini bukan milik korporasi. Laut ini bukan milik negara. Semua adalah milik rakyat. Semua adalah milik kehidupan. Dan Bung Karno telah lama menyuarakan itu, jauh sebelum krisis iklim diperdebatkan dalam konferensi elite dunia. Maka jika kita ingin benar-benar merdeka, kita harus memulai dengan menjaga tanah air ini — secara nyata, secara berani, dan secara revolusioner.
Merdeka!
GmnI, Jaya!
Marhaen, Menang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar...